Titik Lemah Ideologi Mu’tazilah

Jika Mu’tazilah, dengan teologi rasionalitasnya, dikategorikan sekte “pemuja” akal, apakah dengan itu berarti mereka adalah golongan berakal?
Jika kita masih memegang teguh Al Qur’an, maka Al Qur’an telah menyiapkan jawabannya, Firman Allah dalam Qs. Ali Imran: 7 sebagai berikut:”Dia-lah yang menutunkan Al Kitab (al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada, itulah pokok-pokok isi al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripada untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:”kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Ayat dia atas menegaskan bahwa terdapat dua jenis isi kandungan al Qur’an: Pertama, ayat-ayat yang muhkamat, Kedua, ayat-ayat yang mutasyabihat. Kemudian menjelaskan bahwa di antara manusia ada yang selalu condong pada kesesatan yaitu mereka yang selalu mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dan mencari-cari ta’wilnya.
Lalu kalau kita melihat produk pemikiran Mu’tazilah yang telah di paparkan di atas, maka kita dengan mudah akan mengetahui bahwa apa yang banyak mereka bahas adalah ayat-ayat mutasyabihat. Ambil saja cotohnya tentang sifat-sifat Allah yang Allah sendiri (dalam Al Qur’an) tidak menerangkannya secara detil (tafsil). Lalu, dengan kecondongan kepada kesesatan, mereka mencari-cari ta’wil yang seluruhnya disandarkan pada akal rasional. Akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan ayng sesat (sesuai kecondongan mereka) dengan mengaatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat azali kalam, Bashar, dan lain sebagainya. Lebih sesat lagi mereka mengatakan dan meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh mata manusia bahkan Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya! sungguh kesesatan yang nyata.
Selanjutnya, karena kepuasanya manggunakan akal, mereka pun munggunakannya dalam segala permasalahan hingga akhirnya menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran, menyingkirkan al Qur’an yang sebelumnya telah dilemahkan kedudukannya dengan mengatakan bahwa al Qur’an adalah makhluk Allah yang berperspektif telah dan memiliki kekuatan; dan melupakan sunnah (juga) sebagai sumber hukum. Dari realita tersebut, pantaslah jika Mu’tazilah kita golongan ke dalam kelompok yang hatinya condong pada kesesatan seperti disitir dalam Ali Imran ayat tujuh di atas.
Sementara sebagai negasi dari kelompok yang hatinya condong pada kesesatan, Allah menyebutkan orang-orang yang ilmunya mendalam (al rasikhuna fi’l’ilmi) dan menjelaskan pendirian mereka dihadapan ayat-ayat mutasyabihat, mereka berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Mereka itulah para Ulul Albab (orang yang berakal), satu-satunya golongan yang bisa mengambil pelajaran.
Jika al Qur’an mengatakan bahwa orang yang berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi kami.” Adalah orang yang mendalam ilmunya dan dinamainya dengan ulul albab (orang yang berakal), lalu dinmakan Mu’tazilah berada jika bukan di golongan (yang cenderung pada) kesesatan?
Secara logika sehat (rasional) sendiri, ideologi Mu’tazilah sudah terpatahkan. Coba kita bukan cakrawala kita dengan bebas menembus seluruh alam semesta, bayangkan ribuan bintang, planet, meteorid dan berbagai benda angkasa yang ada di semesta; lalu kembali lagi ke bumi yang usianya sudah bermilyar-milyaran tahun, bayangkan gunung dengan segala karakteristik dan isinyaa, bayangkan hutan dengan bintang-bintang yang mengisinya dengan berbagai macam jenis dan bentuknya, kemudian saksikan laut yang lebih luas dari daratan yang sangat menyimpan rahasia yang tidak banyak diketahui, Adakah, dalam sejarah, seseorang dengan kekuatan akalnya mampu mengetahui seluruh benda makhluk Allah itu?
Jika makhluk-makhluk-Nya saja tidak mampu difikirkan, apa jaminannya akal akan mampu memikirkan Allah, Sang pencipta! Sungguh kesombongan yang nyata mengisi rongga hati manusia yang ngotot ingin memikirkan dan merasionalisasikan Allah. Mereka adalah manusia yang men-tuhan-kan hawa nafsu, nafsu intelektual mereka. Tentang hal ini Allah berfirman:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mngunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Qs. Al Jasiyah,45;23)

hanifsky.blogspot.com

0 komentar:

Copyright © 2012 Riwayat Belajar.