Pokok-Pokok Ajaran Muktazilah

Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari takdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah pemikiran Mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassaroh fi’ladyan wa’lmadzahib wa’lahzab al-mu’ashirah” bahwa pada awal sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:
1.        Pemukiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
2.        Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan –mu’min dan kafir- (manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Sejalan dengan keberagamaan akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh sekte Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Dalam bukunya,”al-farqu baina ‘lfiraq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte Mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh sub sekte tersebut masih ada lagi dua sub sekte Mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah: al-khabithiyah dan al-himariyyah. Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dari duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah:
ü  Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. Dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
ü  Pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “diri”-Nya.
ü  Pemikiran tentang ke-baru-an (hadits) kalamullah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamullah adalah makhluk-Nya.
ü  Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta prilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas perbuatanya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah disebut qodariyah oleh sebagaian kaum muslimin.
ü  Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah di antara dua manzilah -mu’min dan kafir- (manzilatun baina manzilataini). Inilah alasan mereka disebut Mu’tazilah.
ü  Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak di perintatahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.
Inilah sebagian produk pokok pemikiran Mu’tazilah yang cukup mewakili identitas Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran. Seluruh pemikiran Mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sekte yang paling menguasai ilmu kalam.
Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam ‘Abdullah ibn Mubarak. Menurut ibn Taymiyyah, sarjana itu mengatakan demikian:
“Agama adalah kepunyaan ahli hadist, kebohongan kepunyaan kaum Rafidla, (ilmu) kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional)”
Selanjutnya, dari enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh sub sekte Mu’tazilah di atas mereka merangkum kembali menjadi lima dasar (ushul) pemikiran yang menjadi trade mark mereka.
Kelima dasar pemikiran tersebut adalah: al-tauhid, al-a’dl (keadilan Allah), al-wa’d wa’lwa’id (janji dan ancaman Allah), al-manzilatu baina ‘lmanzilataini, al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’munkar.

a.       At-Tauhid (ke-Esa-an Tuhan).
Ajaran pertama aliran ini berarti menyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah Yang Maha Esa. Konsep tauhid menurut mereka adalah paling murni sehingga mereka senang disebut pembela tauhid (ahl al-Tauhid). Tauhid adalah dasar utama dan pertama dalam akidah Islam, jadi prinsip Tauhid ini bukan hanya kepunyaan orang Muktazilah saja, tapi prinsip seluruh umat Islam, akan tetapi orang Muktazilah mempermasalahkannya lebih mendalam, sehingga prinsip yang menimbulkan beberapa kelanjutan lainnya, antara lain:
1.        Menafikan sifat Allah, mereka tidak mengakui adanya sifat Tuhan. Tidak ada yang qadim selain zat Allah. Apa yang dianggap atau disebut sifat Allh tidak bisa dipisahkan dari zat Tuhan itu sendiri.
2.        Quran adalah makhluk, yang qadim hanya zat Allah, sedangkan kalamullah itu tidak ada pada zat Allah, tetapi berada diluarnya, karena itu dia tidak qadim.
3.        Mengingkari bahwa Tuhan itu tidak dapat dilihat dengan mata kepala, yang dapat dilihat dengan mata kepala itu berarti bukan Tuhan.
4.        Menta’wilkan ayat-ayat yang terkesan adanya persamaan antara Tuhan dengan manusia.

b.       Al-Adlu (keadilan)
Menurut aliran Muktazillah, paham keadilan Tuhan mempunyai pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat zalim kepada hamba-Nya. Mereka berpendapat bahwa Tuhan wajib berbuat yang terbaik bagi manusia. Misalnya, tidak memberi beban terlalu berat, mengirimkan nabi dan rasul, serta memberi daya manusia agar dapat mewujudkan keinginan nya. Dalam hal keadilan mereka lebih banyak menitikberatkan pada pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, karena itu mereka menafsirkan keadilan sebagai berikut:
Tuhan tidak menghendaki keburukan, tapi manusia sendirilah yang menghendaki keburukan itu. Allah memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya dan melarang apa yang diperintahkan-Nya untuk tidak dikerjakan. Manusia dengan qudrat (kekuasaan) yang dijadikan Allah pada dirinya, dapat mengerjakan yang baik, maka bila ia mengerjakan yang buruk berarti ia sendirilah yang menghendakinya.
Dari prinsip ini timbullah ajaran al-Ashlah wal Ashlah maksudnya Allah menghendaki yang baik, bahkan yang terbaik dari segala yang baik untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.

c.        Al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman)
Menurut Muktazillah, Tuhan wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga. Begitu juga, menepati ancaman-Nya mencampakkan orang kafir serta orang yang berdosa besar ke dalam neraka. Janji Allah yang akan memberi pahala atau siksa di akhirat kelak pasti akan dilaksanakan, karena itu bagi Muktazilah tidak mengenal adanya syafaat pada hari kiamat nanti, syafaat atau pengampunan bertentangan dengan janji Tuhan. Jadi prinsip ini merupakan kelanjutan dari keadlian.


d.       Al-Manzilu baina Manzilataini
Paham ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan Muktazillah. Paham ini yang menyatakan posisi orang Islam yang berbuat dosa besar. Orang Islam jika melakukan dosa besar, ia tidak lagi sebagai orang mukmin, tetapi ia juga tidak kafir. Kedudukannya sebagai orang fasik. Jika meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkan neraka selama-lamanya. Akan tetapi, siksanya lebih ringan daripada orang kafir.
Prinsip ini amat penting, sebab prinsip inilah yang menjadi alasan Wasil memisahkan diri dari gurunya Hasan Basri. Dengan prinsip ini kuat dugaan wasil ingin mengambil jalan tengah pertentangan antara golongan Khawarij dan Murji’ah.
Menurut Muktazilah maksiat itu ada dua macam, yaitu yang merusak dasar agama seperti syirik dan orang yang berbuat maksiat seperti ini digolongkan kafir dan kedua yang tidak sampai merusak dasar-dasar agama, orang yang melakukannya tidak berhak disebut mukmin, tapi tidak pula dikategorikan kafir, karena ia mengucap syahadatain, ia disebut fasik, antara kafir dan mukmin.

e.   Amar ma’ruf dan nahi Munkar (Perintah Mengerjakan Kebajikan dan Melarang Kemungkaran)
Dalam prinsip Muktazillah, setiap muslim wajib menegakkan yang makruf dan menjauhi yang mungkar. Bahkan, dalam sejarah, mereka pernah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Orang yang menentang akan dihukum.
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan soal amaliah atau fikih, namun golongan ini sangat gigih melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan dalam sejarah Muktazillah pernah menggunakan kekerasan dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar, sekalipun terhadap umat Islam sendiri, antara lain peristiwa al-Minhah.

hanifsky.blogspot.com

0 komentar:

Copyright © 2012 Riwayat Belajar.