Sejarah Muktazilah
Sebenarnya istilah Muktazilah sudah di kenal sejak pertengahan abad pertama Hijriah yaitu gelar kepada orang-orang yang memisahkan diri atau bersikap netral kepada peristiwa-peristiwa politik yang timbul setelah wafatnya Utsman ra.
Pertama, pertentangan antara Aisyah, Thalhah dan Zubair di satu pihak dan ali di pihak lainnya (perang jamal). Kedua, pertentangan antara ali dengan Muktazilah (perang Shiffin).
Di antara orang-orang yang memisahkan diri atau netral itu adalah sa’ad ibn Abi Wakas, Abdullah ibn Umar Muhammad ibn Maslamah, Usamah ibn Zaid, Suhaib ibn Sinan dan Zaid ibn Tsabit.
An-Naubati dalam kitab Firaq al-Syi’ah, menjelaskan setelah ali ra. Di angkat sebagai khalifah, sekelompok umat Islam memisahkan diri I’tizal dari ali ra, meskipun mereka menyetujui pengangkatan ali sebagai khalifah. Mereka ini di sebut golongan Muktazilah.
Dari uraian di atas jelas bahwa istilah Muktazilah sudah di kenal pada periode seperempat abad terakhir pada abad pertama Hijriah denagan latar belakang kemelut politik. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah Muktazilah yang di pelopori oleh Wasil ibn Atha yang muncul pada abad kedua Hijriah itu ada hubungan atau merupakan kelanjutan dari Muktazilah yang muncul pada abad pertama Hijriah ataukah kedua kasus itu muncul sendiri-sendiri, tidak ada kaitan satu sama lainnnya, sekalipun mempunyai nama yang sama.
Kalau kita memperhatikan keadaan masyarakat dan konstelasi politik pada saat lahirnya kedua Muktazilah itu, maka tampaknya kedua Muktazilah yang muncul pada abad pertama dan kedua Hijriah itu tidak ada hubungannya. Yang pertama lahir karena akibat adanya kemelut politik, sedangkan yang kedua lahir di dorong dengan akidah, oleh sebab itu yang kedua di golongkan kedalam aliran atau mazhab dalam teologi islam meskipun kemudian harinya mereka turuk serta mempermasalahkan politik sebagai umat yang kritis terhadap perkembangan zaman.
Menurut Asy Syahratsani dalam bukunya milal wan nihal di ceritakan bahwa pada suatu hari seorang laki-laki datang menemui Hasan Basri (21-110H/642-728M) seraya berkata: “Pada zaman kita ini telah muncul suatu golongan yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa besar.” Menurut mereka dosa besar itu merusak iman atau sama dengan kekafiran mereka itu adalah golongan Khawarij. Di samping itu timbul pula suatu golongan yang menangguhkan hukum atas orang yang berbuat dosa besar dan menurut mereka berbusat dosa besar itu tidak merusak iman. Mereka itu adalah golongan Murji’ah.
“Bagaimanakah anda (Hasan Basri) menetapkan itikad bagi kami tentang hal ini ?”. ketikah Hasan Basri merenungkan masalah tersebut, Wasil ibn Atha berkata:”Aku tidak mengatakan orang yang berbuat dosa besar itu adalah mukmin secara mutlak dan tidak pula kafir secara mutlak, tapi statusnya di antara mukmin dan kafir (al-Manzilu baina al-Manzilataini), mereka tidak mukmin dan tidak pula kafir”. Setelah memberi jawaban itu Wasil ibn Atha bangkit berdiri dan berjalan ke suatu sudut masjid sambil menjelaskan alasan-alasan pendapatnya kepada kawan-kawannya.
Melihat tingkah laku yang demikian, maka Hasan Basri berkata : “I’tazala ‘ anna washil (Wasil telah memisahkan diri dari kita)”, maka sejak itulah Wasil ibn Atha dan para pengikutnya di namakan Muktazilah.
Kebanyakan ulama‑ulama yang masuk dalam barisan Mu’tazilah, setelah berkembangnya. Filsafat Yunani di Bagdad (Irak) pada bagian kedua abad ke‑8 (2 H) adalah ulama‑ulama yang memberikan perhatian besar pada ilmu dan filsafat itu. Mereka menjadi golongan ulama intelek, yang disamping berteologi (menjelaskan, memperkuat dan membela akidah‑akidah yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi) dengan pemikiran rasional, juga sebagiannya ikut memberi saham yang besar bagi perkembangan ilmu dan filsafat di zaman klasik Islam. Mereka sering tampil dalam gelanggang perdebatan teologis dengan para teolog non-muslim, mereka memakai senjata logika dan filsafat, sebagaimana yang digunakan pihak lawan. Bila penulis modern menyebutnya kaum rasionalis Islam, maka itu tidak berarti bahwa mereka hanya berpegang pada akal, atau lebih meninggikan akal dari wahyu, mereka sebenarnya berpegang pada keterangan akal dalam rangka menjelaskan atau membela keterangan wahyu. Terlebih dari itu, bila mereka disebut pada teologi liberal dalam Islam, maka itu tidak berarti bahwa mereka tidak terikat pada al-Quran dan as-Sunnah, mereka liberal dalam arti tidak terikat pada pemahaman‑pemahaman yang bersifat sederhana, dangkal atau harfiyah, yang muncul di kalangan sebagian ulama di luar golongan mereka.
Setelah Washil bin ‘Atha’ (pendiri Mu’tazilah) dan pendampingnya, Amru bin Ubaid wafat, ulama‑ulama Mu’tazilah terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok Bagdadyang mau menerima jabatan pemerintahan, dan kelompok Basrah, yang tidak tertarik pada jabatan tersebut. Kedua kelompok itu, karena ketekunan beribadah dan menguasai ilmu serta filsafat, berteologi secara rasional, dapat menarik bagi dan berpengaruh kuat atas khalifah‑khalifah Bani Abbas sampai tahun 849 (234 H). Pada tahun ini, karena kesalahan memaksakan pendirian kepada ulama‑ulama di luar golongannya, Mu’tazilah yang telah 22 tahun lamanya menjadi madzhab resmi Daulah Abbasiyah, mendapat pukulan hebat dengan berfihakknya Khalifah Mutawakkil kepada kaum Ahlussunnah wal Jamaah. Akhirnya kaum Mu’tazilah dibenci dan dimusuhi oleh penguasa, mayoritas ulama, dan ummat. Pemuka mereka seperti Al‑Jubba’i, tidak mampu menahan kemunduran aliran teologi mereka. Mu’tazilah memang pernah bangkit lagi di Irak dan Persia, ketika kedua wilayah tersebut dikuasai oleh penguasa bani Buaihi (945‑1045/334‑437), golongan Syiah yang berteologi Mu’tazilah dan melahairkan ulama terkemuka, Qadhi Al‑Qudhat Abdul Jabbar (W 1025). Tapi setelah hancur kekuasaan Bani Buaihi, pada umumnya penguasa‑penguasa di seluruh dunia Islam berfihak kepada kaum Ahlussunnah Wal Jammah. (IAIN Syarif Hidayatullah, 1992: 712)
Dewasa ini, golongan Mu’tazilah ini banyak bertebaran di Syam, Yaman, Irak dan Hindustan. Tetapi juga di negeri‑negeri Islam yang lain, yang dengan sadar atau tidak sadar, faham‑faham Mu’tazilah ini masuk melalui ajaran Islam. (Atjeh, 1966: 48)
0 komentar: