Pemuka-Pemuka Muktazillah

a)      Wasil ibn Atha
Wasil ibn Atha lahir sekitar tahun 70 H di Madinah, kemudian beliau pindah ke Basrah dan berguru pada seorang ulama besar bernama Hasan Basri. Beliau termasuk salah seorang murid yang cerdas dan tekun dengan pelajarannya.
Pokok-pokok pikiran tentang teologi dapat disimpulkan dalam tiga hal penting, yaitu tentang dosa besar, kekuasaan berbuat atau free will dan tentang sifat Allah.
Orang yang berbuat dosa besar kemudian meninggal dunia tanpa tobat, maka orang itu disebut fasiq, karena pada dirinya belum terkumpul perbuatan-perbuatan baik, sehingga ia belum berhak disebut mukmin, akan tetapi karena ia mengucapkan syahadat, maka tidak pula tergolong orang yang kafir.
Tentang manusia apakah bebas berbuat atau tidak, Wasil berpendirian manusia bebas berbuat karena kuasa dan keinginan yang diberikan Tuhan kepadanya. Manusia bebas menggunakannya, apakah untuk kebaikan atau keburukan, dengan demikian adillah Tuhan menghukum orang yang berbuat baik di akhirat kelak.
Di akhirat kelak Tuhan akan meminta pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya selama ia di dunia, hal ini tidak mungkin Tuhan memaksakan kehendaknya, kemudian meminta pertanggungjawaban dari manusia yang dipaksa.
Tentang sifat bila Allah diberi sifat, maka sifat itu harus qadim, hal ini berarti yang qadim itu tidak hanya Allah.dari dasar pemikiran ini Wasil berkesimpulan bahwa Allah tidak bisa disifati dengan sifat sebagaimana sifat manusia, sedangkan sifat Allah yang tersebut dalam al-Quran itu pada hakikatnya adalah zat Allah itu sendiri.
Karya-karya Wasil bin Atha’
Wasil bin ‘Atha’ telah mengarang buku‑buku antara lain:
1.      Kitab Ashnaf al-Murji’ah
2.      Kitab At-Taubah
3.      Kitab Al Manzilah Bain al-Manzilatain
4.      Kitab Khutbatuhu allati Akhraja Minha ar‑Ra’y
5.      Kitab Ma’ani al-Quran
6.      Kitab Al‑Khithab Fi at-Tauhid Wa al-’Adl
7.      Kitab Ma Jara Bainahu Wa Baina Amr Bin Ubaid
8.      Kitab As-Sabil Fi Ma’rifati al-Haq
9.      Kitab Fi ad-Da’wah
10.  Kitab Thabaqat Ahli al-Ilmi Wa Ghairi Dzalik. (Badawi, 1971: 82)
Peran wasil bin Atha’ dalam Aliran Mu’tazilah
Washil adalah tokoh pemula aliran Mu’tazilah. Dia adalah orang pertama yang mendapat julukan Mu’tazilah, dia pula yang mendirikan dan mempertahankan ajaran‑ajarannya. (Al-Ghurabi, t.t.: 74) Washil juga telah mewariskan kepada umat Islam berupa falsafat yang berharga untuk memahami aqidah Islamiah melalui metode pembahasan yang rasional.
Wasil bin ‘Atha’, dalam bidang da’wah sangat berjasa. Dia telah mengutus para da’i ke berbagai penjuru dunia untuk menyebarluaskan ajaran Islam dan teristimewa aliran Mu’tazilah, seperti Abdullah bin Al‑Haris ke Maroko, Hafsh bin Salim ke Khurasan, Ayyub ke Al-Jazirah dan Usman Ath‑Thawil ke Armenia. Washil juga dianggap sebagai orang pertama yang meletakkan prinsip‑prinsip da’i dalam pemerintahan Islam dan mengutus utusan‑utusan dalam rangka da’wah Islamiah serta mempertahankan pendapatnya yang dia pegang teguh. (Al-Ghurabi, t.t.: 103)
Pemikiran Teologis wasil bin Atha’
Sebenarnya, ajaran‑ajaran Washil muncul sebagai reaksi yang ada pada waktu itu; yakni kontroversi yang cukup mencolok antara Khawarij dan Murjiah, orang‑orang Yahudi dan Nasrani berbondong‑bondong untuk masuk Islam, sehingga masalah‑masalah aqidah yang digandrungi sebelumnya, dibawa kedalam agama yang baru mereka peluk. Berbarengan dengan itu pula, filsafat Yunani telah merajalela, sehingga dia merasa tergugah untuk mengambil sikap dalam rangka menyelamatkan agamanya dari kesalahan‑kesalahan yang fatal dan bisa menganak non-muslim untuk memeluk agama Islam. Sikap‑sikapnya, pada pokoknya adalah pendapat‑pendapat berikut ini:
A.      Al‑Manzilah Bainal Manzilatain (Posisi di antara Dua Posisi)
Ajaran ini memberi makna adanya sikap jalan tengah antara dua golongan yang tenah bersengketa, khawarij dan Murjiah. Tentang masalah iman dan kafir, Khawarij berpendirian bahwa implementasi perintah agama, seperti shalat, puasa, sadaqah dan berbuta adil merupakan salah satu unsur keimanan. Iman bukan hanya merupakan kepercayaan saja, sehingga menurutnya, barang siapa percaya bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusanNya, namun dia tidak melaksanakan kewajiban‑kewajiban agama dan melakukan dosa besar, baginya dianggap kafir. Bahkan salah satu dari sektenya Al‑Azariqah, sebagai pengukut dari Nafi’ ibn al‑Azraq, memiliki suatu persepsi bahwa orang yang melakukan dosa besar dianggap telah keluar dari agama Islam dan akan abadi di neraka bersama‑sama dengan orang‑orang kafir lainnya. (Asy‑Syahraststani, 1956: 291)
Murjiah bersiteguh dengan pendiriannya bahwa iman itu merupakan kepercayaan hati. Shalat, puasa dan serentetan ajaran yang senilai dengan itu bukan merupakan unsur iman. Dosa besar yang diperbuat oleh umat Islam tidak menyebabkan dia kafir, tetapi masih tetap dalam batasan orang mukmin. Aliran ini telah memperluas cakupan makna mukmin, sedangkan golongan Khawarij adalah sebaliknya. Orang Mukmin, dalam perspektif  Khawarij, adalah mereka yang termasuk dalam golongannya sendiri, malahan al‑Azariqah, memberi batasan yang relatif sempit, kalau tidak boleh dikata‑kan terlalu sempit, dengan mengibarkan pandangannya bahwa orang mukmin adalah orang‑orang yang bergabung dalam sektenya, adapun selainnya dipandangnya kafir. Pandangan ini sangat berefek lebih jauh terutama dalam bidang politik. (Ahmad Amin, 1964:  292)
Mu’tazilah, Washil dengan para pengikutnya, hadir untuk memberikan sintesa bahwa orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagaimana pendapat khawarij, dan bukan pula mukmin sebagaimana pola pandang Murjiah, tetapi fasiq, yang menduduki posisi di antara posisi mukmin dan kafir. Kata mukmin menurut Washil merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada fasiq, karena dosa besarnya. Dan predikat kafirpun tidak bisa diberikan kepadanya, karena sebaliknya dosa besar dia masih mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerjakan perbuatan‑perbuatan baik. (Ahmad Amin, 1964: 230) Orang yang berdosa besar tersebut, bila mati tanpa taubat terlebih dahulu maka dia akan masuk neraka selamanya, karena di akherat itu hanya terdapat dua golongan, golongan syurga dan neraka, namun siksanya akan diperingan, terletak di atas tingkatan orang‑orang kafir. Pendapat ini menyebabkan Washil keluar dari pengajian Hasan Al‑Basri dan pada gilirannya dia beserta para pengikutnya dinamai Mutazilah. Konsepsi ini sangat berdampak pada para pengikut Mu’tazilah sehingga ajaran ini diangkat menjadi salah satu dari al‑ushul al‑khamsah.
B.       Peniadaan sifat‑sifat Allah
Washil berpendapat, bahwa Allah tidak memiliki sifat‑sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar esensinya dan menurutnya bahwa sifat‑sifat yang jumlah‑nyaa 99 nama tersebut merupakan satu kesatuan yang bernilai Ilahiyah. (Farah, 1986: 203) Semestinya sifat‑sifat itu qadim, karena tidak mungkin mensifatiNya dengan sifat hadits (baru), dan jika sifat‑sifat Allah itu qadim, maka memberikan makna bahwa yangqadim itu banyak, sudah barang tentu pendapat ini salah karena mengandung arti syirik atau menyekutukan Tuhan. (Al-Ghurabi, t.t.: 95)
Ajaran ini merupakan reaksi atau tanggapan terhadap pendapat‑pendapat yang pada waktu itu sedang berkembang, antara lain:
1.         Pendapat Muqatil bin Sulaiman, wafat tahun 150 H, bahwa Allah mempunyai sifat‑sifat jasmani dan sifat‑sifat yang terdapat pada mahluk.
2.         Pendapat Ats‑Tsanawiyah, bahwa cahaya dan gelap itu izaali dan qadim.
Kalau kita teliti, paham penafian sifat Allah ini tampaknya bukan pendapat asli Wasil bin ‘Atha’ karena sebelum dia, Jahm bin Shafwan (wafat 128 H) telah berpendapat dapat serupa, hanya saja Jahm telah mengecualikan sifat berkuasa, berbuat, dan mencipta. Hanya Allah saja yang mempunyai sifat‑sifat tersebut. Manusia dalam perbuatan‑perbuatannya adalah dipaksa. Perbuatannya bukan dalam arti yang sebenarnya, melain‑kan dalam arti kiasan, tak ubahnya sebagaimana statemen: tanaman menghijau, hujan turun dari langit, siang hari terang benderang dan sebagainya. (Al-Ghurabi, t.t.: 95) Menurut Asy‑Syahrahtani, bahwa pikiran Wasil bin ‘Atha’ tentang peniadaan sifat‑sifat ini, dianggap belum matang, tetapi kemudian disempurnakan oleh pengikut‑pengikutnya setelah mereka mempelajari filsafat Yunani.Abu Hudzail berpendapat, bahwa sifat esensi bagi Allah seperti mengetahui, berkuasa, hidup, dan sebagainya, adalah zat Allah itu sendiri, bukan merupakan wujud tersendiri yang terpisah dari esensinya. Pengetahuan Allah adalah Allah itu sendiri. Kekuasaan Allah adalah esensi Allah sendiri, demikian pula sifat‑sifat esensi lainnya. (Al-Ghurabi, t.t.: 159)
C.     Al‑Qadar
Menurut Wasil bin ‘Atha’ Tuhan adalah bersifat bijaksana dan adil. Sebaliknya ia tidak memiliki sifat jahat dan dholim. Mustahil bagi‑Nya menghendaki supaya manusia berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perintah‑nya. Karenanya, menurut Wasil bin ‘Atha’ bahwa pada hakekatnya manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan baik atau buruk, iman atau kufur, taat atau ingkar terhadap perintah Allah. Dengan alasan ini, maka manusia berhak mendapat balasan. Menurut Asy‑Syahrastani, pemikiran Wasil bin ‘Atha’ tentang Al‑Qadar ini, telah mengikuti jejak jalan fikiran yang ditempuh oleh Ma’bad Al‑Juhaini dan Ghailan Al‑Dimasyqi. Ajaran Al‑Qadar ini memberikan kebebasan akal dan perbuatan manusia untuk berikir dan berbuat, akan tetapi ada konsekuensi logisnya, yaitu bahwa manusia akan dimintai pertanggung jawabannya. (Asy‑Syahrastani, 1956: 51)
Sikap Para Ulama terhadap Wasil bin Atha’
Al‑Asy’ari adalah salah seorang ulama yang sangat gencar menyerang ajaran Wasil bin ‘Atha’. Dia menuduh Wasil bin ‘Atha’ sebagai orang Majusi. Dia berbeda pendapat dengan Wasil, mengenai ajaran peniadaan sifat. Menurutnya, Allah itu mempunyai sifat‑sifat, namun berbeda dengan sifat‑sifat yang dimiliki oleh mahluk. Dia menolak ajaran Al‑Qadar, bahwa manusia tidak mampu berbuat hal‑hal yang baru, namun demikian, mereka dapat melakukan kasab. (Abu Zahrah, t.t.: 166)
Sebagian ulama yang lain memasukkan Wasil bin ‘Atha’ sebagai kelompok Khawarij, bahkan ada lagi yang memasukkannya dalam kelompok Jahmiyah. (Al Ghurabi, t.t: 79)

b)      Abul Huzail Al Allaf
Beliau lahir pada tahun 135H/751M dan wafat pada tahun 235H/849M, Abdul Huzail merupakan gererasi kedua penganut Muktazilah dan beliaulah orang pertama yang mengintrodusir dan menyusun dasar-dasar paham Muktazilah. Beliau berguru pada Utsman At Thawil, murid Wasil ibn Atha.
Berlainan dengan Wasil ibn Atha, beliau lahir dalam situasi memuncaknya ilmu pengetahuaan, telah banyak buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

c)       An Nazzam
Nama lengkapnya Ibrahim ibn Sayyar, tapi beliau lebih di kenal dengan An Nazzam. Beliau adalah seorang murid dari Abul Huzail. Pada waktu kecilnya banyak bergaul dengan oaring yang bukan Islam dan pada usia dewasa bergaul dengan ahli filsafat dan sekaligus menekuninya.

d)      Al Jubba’i
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad ibn Abdil Wahab lahir tahun 235H/849M Juba’, wafat tahun 303H/915M di Basrah.
Situasi politik pada masanya sedang mulai menurun menuju kemunduran, gerakan-gerakan sparatis bermunculan di banyak daerah yang selanjutnya timbul kekuasaan-kekuasaan kecil di beberapa daerah, namun masalah ilmu pengetahuan tetap berkembang dengan pesat. Beliau berguru dengan Asy Syahham, salah seorang murid dari Al Alaff.

Masih banyak lagi tokoh-tokoh Muktazilah, akan tetapi kalau dipelajari secara mendalam walawpun disana-sini terdapat perbedaan pendapat, namun perbedaan itu saling lengkap-melengkapi. Mereka mempunyai pola berfikir yang sama yaitu menitikberatkan pada penggunaan akal dalam memecahkan masalah teologi. Tolak ukur yang dipergunakan oleh orang muktazilah adalah tolak ukur kemanusiaan (rasional) seperti keadilan tuhan dan lain-lain.
Kemunduran muktazilah banyak disebabkan oleh penganut sendiri, pernyataan khalifah makmum bahwa mazhab muktazilah sebagai mazhab Negara memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh muktazilah memaksakan pahamnya, diikuti dengan peristiwa al-minah dan lain-lainnya, menyebabkan banyak tokoh-tokoh/ulama yang masuk penjara, di hukum karena tidak sepaham dengan mazhab muktazilah.
Kemundran muktazilah kelihatan dengan nyata pada zaman khalifah al-mutawakkil, banyak kitab-kitab yang berisi ajaran muktazilah di bakar, namun demikian masih terdapat pribadi-pribadi yang setia menyebakan paham muktazilah. Pada abad ketiga hijriah (akhir) al-Khayyat yang di anggap sumber asli untuk mengetahui ajaran muktazilah.
Zamakhsyari (467-538H), ulama muktazilah angkatan baru yang menafsirkan al-Quran dengan nama Al-Kasysyaf. Kitab tafsir ini amat dikenal dalam dunia islam.
Seorang yang di didik atas paham muktazilah selama kurang lebih 40 tahun berada dalam lingkungan muktazilah berusaha menengahi kemelutan umat islam, terutama paham rasionalis dan tektualis akhirnya dapat mendapat tempat di hati umat islam. Orang itu terkenal sebagai pendiri Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan orang itu tidak lain adalah Abu Hasan Ali al-Asy’ari.

hanifsky.blogspot.com

0 komentar:

Copyright © 2012 Riwayat Belajar.