a)      Wasil ibn Atha
Wasil ibn Atha lahir sekitar tahun 70 H di Madinah, kemudian beliau pindah ke Basrah dan berguru pada seorang ulama besar bernama Hasan Basri. Beliau termasuk salah seorang murid yang cerdas dan tekun dengan pelajarannya.
Pokok-pokok pikiran tentang teologi dapat disimpulkan dalam tiga hal penting, yaitu tentang dosa besar, kekuasaan berbuat atau free will dan tentang sifat Allah.
Orang yang berbuat dosa besar kemudian meninggal dunia tanpa tobat, maka orang itu disebut fasiq, karena pada dirinya belum terkumpul perbuatan-perbuatan baik, sehingga ia belum berhak disebut mukmin, akan tetapi karena ia mengucapkan syahadat, maka tidak pula tergolong orang yang kafir.
Tentang manusia apakah bebas berbuat atau tidak, Wasil berpendirian manusia bebas berbuat karena kuasa dan keinginan yang diberikan Tuhan kepadanya. Manusia bebas menggunakannya, apakah untuk kebaikan atau keburukan, dengan demikian adillah Tuhan menghukum orang yang berbuat baik di akhirat kelak.
Di akhirat kelak Tuhan akan meminta pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya selama ia di dunia, hal ini tidak mungkin Tuhan memaksakan kehendaknya, kemudian meminta pertanggungjawaban dari manusia yang dipaksa.
Tentang sifat bila Allah diberi sifat, maka sifat itu harus qadim, hal ini berarti yang qadim itu tidak hanya Allah.dari dasar pemikiran ini Wasil berkesimpulan bahwa Allah tidak bisa disifati dengan sifat sebagaimana sifat manusia, sedangkan sifat Allah yang tersebut dalam al-Quran itu pada hakikatnya adalah zat Allah itu sendiri.
Karya-karya Wasil bin Atha’
Wasil bin ‘Atha’ telah mengarang buku‑buku antara lain:
1.      Kitab Ashnaf al-Murji’ah
2.      Kitab At-Taubah
3.      Kitab Al Manzilah Bain al-Manzilatain
4.      Kitab Khutbatuhu allati Akhraja Minha ar‑Ra’y
5.      Kitab Ma’ani al-Quran
6.      Kitab Al‑Khithab Fi at-Tauhid Wa al-’Adl
7.      Kitab Ma Jara Bainahu Wa Baina Amr Bin Ubaid
8.      Kitab As-Sabil Fi Ma’rifati al-Haq
9.      Kitab Fi ad-Da’wah
10.  Kitab Thabaqat Ahli al-Ilmi Wa Ghairi Dzalik. (Badawi, 1971: 82)
Peran wasil bin Atha’ dalam Aliran Mu’tazilah
Washil adalah tokoh pemula aliran Mu’tazilah. Dia adalah orang pertama yang mendapat julukan Mu’tazilah, dia pula yang mendirikan dan mempertahankan ajaran‑ajarannya. (Al-Ghurabi, t.t.: 74) Washil juga telah mewariskan kepada umat Islam berupa falsafat yang berharga untuk memahami aqidah Islamiah melalui metode pembahasan yang rasional.
Wasil bin ‘Atha’, dalam bidang da’wah sangat berjasa. Dia telah mengutus para da’i ke berbagai penjuru dunia untuk menyebarluaskan ajaran Islam dan teristimewa aliran Mu’tazilah, seperti Abdullah bin Al‑Haris ke Maroko, Hafsh bin Salim ke Khurasan, Ayyub ke Al-Jazirah dan Usman Ath‑Thawil ke Armenia. Washil juga dianggap sebagai orang pertama yang meletakkan prinsip‑prinsip da’i dalam pemerintahan Islam dan mengutus utusan‑utusan dalam rangka da’wah Islamiah serta mempertahankan pendapatnya yang dia pegang teguh. (Al-Ghurabi, t.t.: 103)
Pemikiran Teologis wasil bin Atha’
Sebenarnya, ajaran‑ajaran Washil muncul sebagai reaksi yang ada pada waktu itu; yakni kontroversi yang cukup mencolok antara Khawarij dan Murjiah, orang‑orang Yahudi dan Nasrani berbondong‑bondong untuk masuk Islam, sehingga masalah‑masalah aqidah yang digandrungi sebelumnya, dibawa kedalam agama yang baru mereka peluk. Berbarengan dengan itu pula, filsafat Yunani telah merajalela, sehingga dia merasa tergugah untuk mengambil sikap dalam rangka menyelamatkan agamanya dari kesalahan‑kesalahan yang fatal dan bisa menganak non-muslim untuk memeluk agama Islam. Sikap‑sikapnya, pada pokoknya adalah pendapat‑pendapat berikut ini:
A.      Al‑Manzilah Bainal Manzilatain (Posisi di antara Dua Posisi)
Ajaran ini memberi makna adanya sikap jalan tengah antara dua golongan yang tenah bersengketa, khawarij dan Murjiah. Tentang masalah iman dan kafir, Khawarij berpendirian bahwa implementasi perintah agama, seperti shalat, puasa, sadaqah dan berbuta adil merupakan salah satu unsur keimanan. Iman bukan hanya merupakan kepercayaan saja, sehingga menurutnya, barang siapa percaya bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusanNya, namun dia tidak melaksanakan kewajiban‑kewajiban agama dan melakukan dosa besar, baginya dianggap kafir. Bahkan salah satu dari sektenya Al‑Azariqah, sebagai pengukut dari Nafi’ ibn al‑Azraq, memiliki suatu persepsi bahwa orang yang melakukan dosa besar dianggap telah keluar dari agama Islam dan akan abadi di neraka bersama‑sama dengan orang‑orang kafir lainnya. (Asy‑Syahraststani, 1956: 291)
Murjiah bersiteguh dengan pendiriannya bahwa iman itu merupakan kepercayaan hati. Shalat, puasa dan serentetan ajaran yang senilai dengan itu bukan merupakan unsur iman. Dosa besar yang diperbuat oleh umat Islam tidak menyebabkan dia kafir, tetapi masih tetap dalam batasan orang mukmin. Aliran ini telah memperluas cakupan makna mukmin, sedangkan golongan Khawarij adalah sebaliknya. Orang Mukmin, dalam perspektif  Khawarij, adalah mereka yang termasuk dalam golongannya sendiri, malahan al‑Azariqah, memberi batasan yang relatif sempit, kalau tidak boleh dikata‑kan terlalu sempit, dengan mengibarkan pandangannya bahwa orang mukmin adalah orang‑orang yang bergabung dalam sektenya, adapun selainnya dipandangnya kafir. Pandangan ini sangat berefek lebih jauh terutama dalam bidang politik. (Ahmad Amin, 1964:  292)
Mu’tazilah, Washil dengan para pengikutnya, hadir untuk memberikan sintesa bahwa orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagaimana pendapat khawarij, dan bukan pula mukmin sebagaimana pola pandang Murjiah, tetapi fasiq, yang menduduki posisi di antara posisi mukmin dan kafir. Kata mukmin menurut Washil merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada fasiq, karena dosa besarnya. Dan predikat kafirpun tidak bisa diberikan kepadanya, karena sebaliknya dosa besar dia masih mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerjakan perbuatan‑perbuatan baik. (Ahmad Amin, 1964: 230) Orang yang berdosa besar tersebut, bila mati tanpa taubat terlebih dahulu maka dia akan masuk neraka selamanya, karena di akherat itu hanya terdapat dua golongan, golongan syurga dan neraka, namun siksanya akan diperingan, terletak di atas tingkatan orang‑orang kafir. Pendapat ini menyebabkan Washil keluar dari pengajian Hasan Al‑Basri dan pada gilirannya dia beserta para pengikutnya dinamai Mutazilah. Konsepsi ini sangat berdampak pada para pengikut Mu’tazilah sehingga ajaran ini diangkat menjadi salah satu dari al‑ushul al‑khamsah.
B.       Peniadaan sifat‑sifat Allah
Washil berpendapat, bahwa Allah tidak memiliki sifat‑sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar esensinya dan menurutnya bahwa sifat‑sifat yang jumlah‑nyaa 99 nama tersebut merupakan satu kesatuan yang bernilai Ilahiyah. (Farah, 1986: 203) Semestinya sifat‑sifat itu qadim, karena tidak mungkin mensifatiNya dengan sifat hadits (baru), dan jika sifat‑sifat Allah itu qadim, maka memberikan makna bahwa yangqadim itu banyak, sudah barang tentu pendapat ini salah karena mengandung arti syirik atau menyekutukan Tuhan. (Al-Ghurabi, t.t.: 95)
Ajaran ini merupakan reaksi atau tanggapan terhadap pendapat‑pendapat yang pada waktu itu sedang berkembang, antara lain:
1.         Pendapat Muqatil bin Sulaiman, wafat tahun 150 H, bahwa Allah mempunyai sifat‑sifat jasmani dan sifat‑sifat yang terdapat pada mahluk.
2.         Pendapat Ats‑Tsanawiyah, bahwa cahaya dan gelap itu izaali dan qadim.
Kalau kita teliti, paham penafian sifat Allah ini tampaknya bukan pendapat asli Wasil bin ‘Atha’ karena sebelum dia, Jahm bin Shafwan (wafat 128 H) telah berpendapat dapat serupa, hanya saja Jahm telah mengecualikan sifat berkuasa, berbuat, dan mencipta. Hanya Allah saja yang mempunyai sifat‑sifat tersebut. Manusia dalam perbuatan‑perbuatannya adalah dipaksa. Perbuatannya bukan dalam arti yang sebenarnya, melain‑kan dalam arti kiasan, tak ubahnya sebagaimana statemen: tanaman menghijau, hujan turun dari langit, siang hari terang benderang dan sebagainya. (Al-Ghurabi, t.t.: 95) Menurut Asy‑Syahrahtani, bahwa pikiran Wasil bin ‘Atha’ tentang peniadaan sifat‑sifat ini, dianggap belum matang, tetapi kemudian disempurnakan oleh pengikut‑pengikutnya setelah mereka mempelajari filsafat Yunani.Abu Hudzail berpendapat, bahwa sifat esensi bagi Allah seperti mengetahui, berkuasa, hidup, dan sebagainya, adalah zat Allah itu sendiri, bukan merupakan wujud tersendiri yang terpisah dari esensinya. Pengetahuan Allah adalah Allah itu sendiri. Kekuasaan Allah adalah esensi Allah sendiri, demikian pula sifat‑sifat esensi lainnya. (Al-Ghurabi, t.t.: 159)
C.     Al‑Qadar
Menurut Wasil bin ‘Atha’ Tuhan adalah bersifat bijaksana dan adil. Sebaliknya ia tidak memiliki sifat jahat dan dholim. Mustahil bagi‑Nya menghendaki supaya manusia berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perintah‑nya. Karenanya, menurut Wasil bin ‘Atha’ bahwa pada hakekatnya manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan baik atau buruk, iman atau kufur, taat atau ingkar terhadap perintah Allah. Dengan alasan ini, maka manusia berhak mendapat balasan. Menurut Asy‑Syahrastani, pemikiran Wasil bin ‘Atha’ tentang Al‑Qadar ini, telah mengikuti jejak jalan fikiran yang ditempuh oleh Ma’bad Al‑Juhaini dan Ghailan Al‑Dimasyqi. Ajaran Al‑Qadar ini memberikan kebebasan akal dan perbuatan manusia untuk berikir dan berbuat, akan tetapi ada konsekuensi logisnya, yaitu bahwa manusia akan dimintai pertanggung jawabannya. (Asy‑Syahrastani, 1956: 51)
Sikap Para Ulama terhadap Wasil bin Atha’
Al‑Asy’ari adalah salah seorang ulama yang sangat gencar menyerang ajaran Wasil bin ‘Atha’. Dia menuduh Wasil bin ‘Atha’ sebagai orang Majusi. Dia berbeda pendapat dengan Wasil, mengenai ajaran peniadaan sifat. Menurutnya, Allah itu mempunyai sifat‑sifat, namun berbeda dengan sifat‑sifat yang dimiliki oleh mahluk. Dia menolak ajaran Al‑Qadar, bahwa manusia tidak mampu berbuat hal‑hal yang baru, namun demikian, mereka dapat melakukan kasab. (Abu Zahrah, t.t.: 166)
Sebagian ulama yang lain memasukkan Wasil bin ‘Atha’ sebagai kelompok Khawarij, bahkan ada lagi yang memasukkannya dalam kelompok Jahmiyah. (Al Ghurabi, t.t: 79)

b)      Abul Huzail Al Allaf
Beliau lahir pada tahun 135H/751M dan wafat pada tahun 235H/849M, Abdul Huzail merupakan gererasi kedua penganut Muktazilah dan beliaulah orang pertama yang mengintrodusir dan menyusun dasar-dasar paham Muktazilah. Beliau berguru pada Utsman At Thawil, murid Wasil ibn Atha.
Berlainan dengan Wasil ibn Atha, beliau lahir dalam situasi memuncaknya ilmu pengetahuaan, telah banyak buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

c)       An Nazzam
Nama lengkapnya Ibrahim ibn Sayyar, tapi beliau lebih di kenal dengan An Nazzam. Beliau adalah seorang murid dari Abul Huzail. Pada waktu kecilnya banyak bergaul dengan oaring yang bukan Islam dan pada usia dewasa bergaul dengan ahli filsafat dan sekaligus menekuninya.

d)      Al Jubba’i
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad ibn Abdil Wahab lahir tahun 235H/849M Juba’, wafat tahun 303H/915M di Basrah.
Situasi politik pada masanya sedang mulai menurun menuju kemunduran, gerakan-gerakan sparatis bermunculan di banyak daerah yang selanjutnya timbul kekuasaan-kekuasaan kecil di beberapa daerah, namun masalah ilmu pengetahuan tetap berkembang dengan pesat. Beliau berguru dengan Asy Syahham, salah seorang murid dari Al Alaff.

Masih banyak lagi tokoh-tokoh Muktazilah, akan tetapi kalau dipelajari secara mendalam walawpun disana-sini terdapat perbedaan pendapat, namun perbedaan itu saling lengkap-melengkapi. Mereka mempunyai pola berfikir yang sama yaitu menitikberatkan pada penggunaan akal dalam memecahkan masalah teologi. Tolak ukur yang dipergunakan oleh orang muktazilah adalah tolak ukur kemanusiaan (rasional) seperti keadilan tuhan dan lain-lain.
Kemunduran muktazilah banyak disebabkan oleh penganut sendiri, pernyataan khalifah makmum bahwa mazhab muktazilah sebagai mazhab Negara memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh muktazilah memaksakan pahamnya, diikuti dengan peristiwa al-minah dan lain-lainnya, menyebabkan banyak tokoh-tokoh/ulama yang masuk penjara, di hukum karena tidak sepaham dengan mazhab muktazilah.
Kemundran muktazilah kelihatan dengan nyata pada zaman khalifah al-mutawakkil, banyak kitab-kitab yang berisi ajaran muktazilah di bakar, namun demikian masih terdapat pribadi-pribadi yang setia menyebakan paham muktazilah. Pada abad ketiga hijriah (akhir) al-Khayyat yang di anggap sumber asli untuk mengetahui ajaran muktazilah.
Zamakhsyari (467-538H), ulama muktazilah angkatan baru yang menafsirkan al-Quran dengan nama Al-Kasysyaf. Kitab tafsir ini amat dikenal dalam dunia islam.
Seorang yang di didik atas paham muktazilah selama kurang lebih 40 tahun berada dalam lingkungan muktazilah berusaha menengahi kemelutan umat islam, terutama paham rasionalis dan tektualis akhirnya dapat mendapat tempat di hati umat islam. Orang itu terkenal sebagai pendiri Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan orang itu tidak lain adalah Abu Hasan Ali al-Asy’ari.

hanifsky.blogspot.com
Jika Mu’tazilah, dengan teologi rasionalitasnya, dikategorikan sekte “pemuja” akal, apakah dengan itu berarti mereka adalah golongan berakal?
Jika kita masih memegang teguh Al Qur’an, maka Al Qur’an telah menyiapkan jawabannya, Firman Allah dalam Qs. Ali Imran: 7 sebagai berikut:”Dia-lah yang menutunkan Al Kitab (al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada, itulah pokok-pokok isi al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripada untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:”kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Ayat dia atas menegaskan bahwa terdapat dua jenis isi kandungan al Qur’an: Pertama, ayat-ayat yang muhkamat, Kedua, ayat-ayat yang mutasyabihat. Kemudian menjelaskan bahwa di antara manusia ada yang selalu condong pada kesesatan yaitu mereka yang selalu mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dan mencari-cari ta’wilnya.
Lalu kalau kita melihat produk pemikiran Mu’tazilah yang telah di paparkan di atas, maka kita dengan mudah akan mengetahui bahwa apa yang banyak mereka bahas adalah ayat-ayat mutasyabihat. Ambil saja cotohnya tentang sifat-sifat Allah yang Allah sendiri (dalam Al Qur’an) tidak menerangkannya secara detil (tafsil). Lalu, dengan kecondongan kepada kesesatan, mereka mencari-cari ta’wil yang seluruhnya disandarkan pada akal rasional. Akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan ayng sesat (sesuai kecondongan mereka) dengan mengaatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat azali kalam, Bashar, dan lain sebagainya. Lebih sesat lagi mereka mengatakan dan meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh mata manusia bahkan Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya! sungguh kesesatan yang nyata.
Selanjutnya, karena kepuasanya manggunakan akal, mereka pun munggunakannya dalam segala permasalahan hingga akhirnya menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran, menyingkirkan al Qur’an yang sebelumnya telah dilemahkan kedudukannya dengan mengatakan bahwa al Qur’an adalah makhluk Allah yang berperspektif telah dan memiliki kekuatan; dan melupakan sunnah (juga) sebagai sumber hukum. Dari realita tersebut, pantaslah jika Mu’tazilah kita golongan ke dalam kelompok yang hatinya condong pada kesesatan seperti disitir dalam Ali Imran ayat tujuh di atas.
Sementara sebagai negasi dari kelompok yang hatinya condong pada kesesatan, Allah menyebutkan orang-orang yang ilmunya mendalam (al rasikhuna fi’l’ilmi) dan menjelaskan pendirian mereka dihadapan ayat-ayat mutasyabihat, mereka berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Mereka itulah para Ulul Albab (orang yang berakal), satu-satunya golongan yang bisa mengambil pelajaran.
Jika al Qur’an mengatakan bahwa orang yang berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi kami.” Adalah orang yang mendalam ilmunya dan dinamainya dengan ulul albab (orang yang berakal), lalu dinmakan Mu’tazilah berada jika bukan di golongan (yang cenderung pada) kesesatan?
Secara logika sehat (rasional) sendiri, ideologi Mu’tazilah sudah terpatahkan. Coba kita bukan cakrawala kita dengan bebas menembus seluruh alam semesta, bayangkan ribuan bintang, planet, meteorid dan berbagai benda angkasa yang ada di semesta; lalu kembali lagi ke bumi yang usianya sudah bermilyar-milyaran tahun, bayangkan gunung dengan segala karakteristik dan isinyaa, bayangkan hutan dengan bintang-bintang yang mengisinya dengan berbagai macam jenis dan bentuknya, kemudian saksikan laut yang lebih luas dari daratan yang sangat menyimpan rahasia yang tidak banyak diketahui, Adakah, dalam sejarah, seseorang dengan kekuatan akalnya mampu mengetahui seluruh benda makhluk Allah itu?
Jika makhluk-makhluk-Nya saja tidak mampu difikirkan, apa jaminannya akal akan mampu memikirkan Allah, Sang pencipta! Sungguh kesombongan yang nyata mengisi rongga hati manusia yang ngotot ingin memikirkan dan merasionalisasikan Allah. Mereka adalah manusia yang men-tuhan-kan hawa nafsu, nafsu intelektual mereka. Tentang hal ini Allah berfirman:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mngunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Qs. Al Jasiyah,45;23)

hanifsky.blogspot.com
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari takdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah pemikiran Mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassaroh fi’ladyan wa’lmadzahib wa’lahzab al-mu’ashirah” bahwa pada awal sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:
1.        Pemukiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
2.        Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan –mu’min dan kafir- (manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Sejalan dengan keberagamaan akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh sekte Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Dalam bukunya,”al-farqu baina ‘lfiraq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte Mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh sub sekte tersebut masih ada lagi dua sub sekte Mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah: al-khabithiyah dan al-himariyyah. Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dari duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah:
ü  Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. Dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
ü  Pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “diri”-Nya.
ü  Pemikiran tentang ke-baru-an (hadits) kalamullah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamullah adalah makhluk-Nya.
ü  Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta prilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas perbuatanya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah disebut qodariyah oleh sebagaian kaum muslimin.
ü  Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah di antara dua manzilah -mu’min dan kafir- (manzilatun baina manzilataini). Inilah alasan mereka disebut Mu’tazilah.
ü  Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak di perintatahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.
Inilah sebagian produk pokok pemikiran Mu’tazilah yang cukup mewakili identitas Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran. Seluruh pemikiran Mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sekte yang paling menguasai ilmu kalam.
Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam ‘Abdullah ibn Mubarak. Menurut ibn Taymiyyah, sarjana itu mengatakan demikian:
“Agama adalah kepunyaan ahli hadist, kebohongan kepunyaan kaum Rafidla, (ilmu) kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional)”
Selanjutnya, dari enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh sub sekte Mu’tazilah di atas mereka merangkum kembali menjadi lima dasar (ushul) pemikiran yang menjadi trade mark mereka.
Kelima dasar pemikiran tersebut adalah: al-tauhid, al-a’dl (keadilan Allah), al-wa’d wa’lwa’id (janji dan ancaman Allah), al-manzilatu baina ‘lmanzilataini, al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’munkar.

a.       At-Tauhid (ke-Esa-an Tuhan).
Ajaran pertama aliran ini berarti menyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah Yang Maha Esa. Konsep tauhid menurut mereka adalah paling murni sehingga mereka senang disebut pembela tauhid (ahl al-Tauhid). Tauhid adalah dasar utama dan pertama dalam akidah Islam, jadi prinsip Tauhid ini bukan hanya kepunyaan orang Muktazilah saja, tapi prinsip seluruh umat Islam, akan tetapi orang Muktazilah mempermasalahkannya lebih mendalam, sehingga prinsip yang menimbulkan beberapa kelanjutan lainnya, antara lain:
1.        Menafikan sifat Allah, mereka tidak mengakui adanya sifat Tuhan. Tidak ada yang qadim selain zat Allah. Apa yang dianggap atau disebut sifat Allh tidak bisa dipisahkan dari zat Tuhan itu sendiri.
2.        Quran adalah makhluk, yang qadim hanya zat Allah, sedangkan kalamullah itu tidak ada pada zat Allah, tetapi berada diluarnya, karena itu dia tidak qadim.
3.        Mengingkari bahwa Tuhan itu tidak dapat dilihat dengan mata kepala, yang dapat dilihat dengan mata kepala itu berarti bukan Tuhan.
4.        Menta’wilkan ayat-ayat yang terkesan adanya persamaan antara Tuhan dengan manusia.

b.       Al-Adlu (keadilan)
Menurut aliran Muktazillah, paham keadilan Tuhan mempunyai pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat zalim kepada hamba-Nya. Mereka berpendapat bahwa Tuhan wajib berbuat yang terbaik bagi manusia. Misalnya, tidak memberi beban terlalu berat, mengirimkan nabi dan rasul, serta memberi daya manusia agar dapat mewujudkan keinginan nya. Dalam hal keadilan mereka lebih banyak menitikberatkan pada pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, karena itu mereka menafsirkan keadilan sebagai berikut:
Tuhan tidak menghendaki keburukan, tapi manusia sendirilah yang menghendaki keburukan itu. Allah memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya dan melarang apa yang diperintahkan-Nya untuk tidak dikerjakan. Manusia dengan qudrat (kekuasaan) yang dijadikan Allah pada dirinya, dapat mengerjakan yang baik, maka bila ia mengerjakan yang buruk berarti ia sendirilah yang menghendakinya.
Dari prinsip ini timbullah ajaran al-Ashlah wal Ashlah maksudnya Allah menghendaki yang baik, bahkan yang terbaik dari segala yang baik untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.

c.        Al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman)
Menurut Muktazillah, Tuhan wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga. Begitu juga, menepati ancaman-Nya mencampakkan orang kafir serta orang yang berdosa besar ke dalam neraka. Janji Allah yang akan memberi pahala atau siksa di akhirat kelak pasti akan dilaksanakan, karena itu bagi Muktazilah tidak mengenal adanya syafaat pada hari kiamat nanti, syafaat atau pengampunan bertentangan dengan janji Tuhan. Jadi prinsip ini merupakan kelanjutan dari keadlian.


d.       Al-Manzilu baina Manzilataini
Paham ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan Muktazillah. Paham ini yang menyatakan posisi orang Islam yang berbuat dosa besar. Orang Islam jika melakukan dosa besar, ia tidak lagi sebagai orang mukmin, tetapi ia juga tidak kafir. Kedudukannya sebagai orang fasik. Jika meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkan neraka selama-lamanya. Akan tetapi, siksanya lebih ringan daripada orang kafir.
Prinsip ini amat penting, sebab prinsip inilah yang menjadi alasan Wasil memisahkan diri dari gurunya Hasan Basri. Dengan prinsip ini kuat dugaan wasil ingin mengambil jalan tengah pertentangan antara golongan Khawarij dan Murji’ah.
Menurut Muktazilah maksiat itu ada dua macam, yaitu yang merusak dasar agama seperti syirik dan orang yang berbuat maksiat seperti ini digolongkan kafir dan kedua yang tidak sampai merusak dasar-dasar agama, orang yang melakukannya tidak berhak disebut mukmin, tapi tidak pula dikategorikan kafir, karena ia mengucap syahadatain, ia disebut fasik, antara kafir dan mukmin.

e.   Amar ma’ruf dan nahi Munkar (Perintah Mengerjakan Kebajikan dan Melarang Kemungkaran)
Dalam prinsip Muktazillah, setiap muslim wajib menegakkan yang makruf dan menjauhi yang mungkar. Bahkan, dalam sejarah, mereka pernah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Orang yang menentang akan dihukum.
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan soal amaliah atau fikih, namun golongan ini sangat gigih melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan dalam sejarah Muktazillah pernah menggunakan kekerasan dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar, sekalipun terhadap umat Islam sendiri, antara lain peristiwa al-Minhah.

hanifsky.blogspot.com
Para ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama Mu’tazilah menjadi beberapa pendapat:
Pertama, penamaan Mu’tazilah hasil dari diskursus tentang masalah aqidah keagamaan, seperti menghukumi pelaku dosa besar, tentang masalah qodar dalam artian, apakah seorang hamba berkuasa atas perbuatannya atau tida. Dan pengusung pemikiran ini menamai Mu’tazilah dengan beberapa sebab :
1.      Bahwasanya mereka meninggalkan kaum muslimin dengan perkataan manzilah baina manzilataini (satu diantara dua tempat).
2.      Mereka menamai Mu’tazilah setelah hengkangnya washil bin atho’ dari halakoh Hasan Al Basri dan membentuk halakoh khusus. Tentang hal ini, Hasan Al Basri berkata “washil telah meninggalkan kita” bahwasanya mereka berkata wajib meninggalkan pelaku dosa besar dan memboikotnya.
Kedua, penamaan Mu’tazilah lahir dari pergulatan politik di mana kelompok orang-orang dari Syi’ah Ali meninggalkan Hasan ketika Mu’awiyyah melepaskan jabatan (sebagai raja) Adapun sejarawan Mu’tazilah (Qadhi Abdu al-Jabar al-hamdani) berpendapat bahwa Mu’tazilah bukan madzab baru atau firqah baru, akan tetapi dia adalah pelanjut risalah Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya. Penamaan tersebut, disebabkan mereka “menjauhi kejahatan”. Seperti dalam firman Allah SWT:
واعتزلكم وما تدعون


hanifsky.blogspot.com
Sebenarnya istilah Muktazilah sudah di kenal sejak pertengahan abad pertama Hijriah yaitu gelar kepada orang-orang yang memisahkan diri atau bersikap netral kepada peristiwa-peristiwa politik yang timbul setelah wafatnya Utsman ra.
Pertama, pertentangan antara Aisyah, Thalhah dan Zubair di satu pihak dan ali di pihak lainnya (perang jamal). Kedua, pertentangan antara ali dengan Muktazilah (perang Shiffin).
Di antara orang-orang yang memisahkan diri atau netral itu adalah sa’ad ibn Abi Wakas, Abdullah ibn Umar Muhammad ibn Maslamah, Usamah ibn Zaid, Suhaib ibn Sinan dan Zaid ibn Tsabit.
An-Naubati dalam kitab Firaq al-Syi’ah, menjelaskan setelah ali ra. Di angkat sebagai khalifah, sekelompok umat Islam memisahkan diri I’tizal dari ali ra, meskipun mereka menyetujui pengangkatan ali sebagai khalifah. Mereka ini di sebut golongan Muktazilah.
Dari uraian di atas jelas bahwa istilah Muktazilah sudah di kenal pada periode seperempat abad terakhir pada abad pertama Hijriah denagan latar belakang kemelut politik. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah Muktazilah yang di pelopori oleh Wasil ibn Atha yang muncul pada abad kedua Hijriah itu ada hubungan atau merupakan kelanjutan dari Muktazilah yang muncul pada abad pertama Hijriah ataukah kedua kasus itu muncul sendiri-sendiri, tidak ada kaitan satu sama lainnnya, sekalipun mempunyai nama yang sama.
Kalau kita memperhatikan keadaan masyarakat dan konstelasi politik pada saat lahirnya kedua Muktazilah itu, maka tampaknya kedua Muktazilah yang muncul pada abad pertama dan kedua Hijriah itu tidak ada hubungannya. Yang pertama lahir karena akibat adanya kemelut politik, sedangkan yang kedua lahir di dorong dengan akidah, oleh sebab itu yang kedua di golongkan kedalam aliran atau mazhab dalam teologi islam meskipun kemudian harinya mereka turuk serta mempermasalahkan politik sebagai umat yang kritis terhadap perkembangan zaman.
Menurut Asy Syahratsani dalam bukunya milal wan nihal di ceritakan bahwa pada suatu hari seorang laki-laki datang menemui Hasan Basri (21-110H/642-728M) seraya berkata: “Pada zaman kita ini telah muncul suatu golongan yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa besar.” Menurut mereka dosa besar itu merusak iman atau sama dengan kekafiran mereka itu adalah golongan Khawarij. Di samping itu timbul pula suatu golongan yang menangguhkan hukum atas orang yang berbuat dosa besar dan menurut mereka berbusat dosa besar itu tidak merusak iman. Mereka itu adalah golongan Murji’ah.
“Bagaimanakah anda (Hasan Basri) menetapkan itikad bagi kami tentang hal ini ?”. ketikah Hasan Basri merenungkan masalah tersebut, Wasil ibn Atha berkata:”Aku tidak mengatakan orang yang berbuat dosa besar itu adalah mukmin secara mutlak dan tidak pula kafir secara mutlak, tapi statusnya di antara mukmin dan kafir (al-Manzilu baina al-Manzilataini), mereka tidak mukmin dan tidak pula kafir”. Setelah memberi jawaban itu Wasil ibn Atha bangkit berdiri dan berjalan ke suatu sudut masjid sambil menjelaskan alasan-alasan pendapatnya kepada kawan-kawannya.
Melihat tingkah laku yang demikian, maka Hasan Basri berkata : “I’tazala ‘ anna washil (Wasil telah memisahkan diri dari kita)”, maka sejak itulah Wasil ibn Atha dan para pengikutnya di namakan Muktazilah.
Kebanyakan ulama‑ulama yang masuk dalam barisan Mu’tazilah, setelah berkembangnya. Filsafat Yunani di Bagdad (Irak) pada bagian kedua abad ke‑8 (2 H) adalah ulama‑ulama yang memberikan perhatian besar pada ilmu dan filsafat itu. Mereka menjadi golongan ulama intelek, yang disamping berteologi (menjelaskan, memperkuat dan membela akidah‑akidah yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi) dengan pemikiran rasional, juga sebagiannya ikut memberi saham yang besar bagi perkembangan ilmu dan filsafat di zaman klasik Islam. Mereka sering tampil dalam gelanggang perdebatan teologis dengan para teolog non-muslim, mereka memakai senjata logika dan filsafat, sebagaimana yang digunakan pihak lawan. Bila penulis modern menyebutnya kaum rasionalis Islam, maka itu tidak berarti bahwa mereka hanya berpegang pada akal, atau lebih meninggikan akal dari wahyu, mereka sebenarnya berpegang pada keterangan akal dalam rangka menjelaskan atau membela keterangan wahyu. Terlebih dari itu, bila mereka disebut pada teologi liberal dalam Islam, maka itu tidak berarti bahwa mereka tidak terikat pada al-Quran dan as-Sunnah, mereka liberal dalam arti tidak terikat pada pemahaman‑pemahaman yang bersifat sederhana, dangkal atau harfiyah, yang muncul di kalangan sebagian ulama di luar golongan mereka.
Setelah Washil bin ‘Atha’ (pendiri Mu’tazilah) dan pendampingnya, Amru bin Ubaid wafat, ulama‑ulama Mu’tazilah terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok Bagdadyang mau menerima jabatan pemerintahan, dan kelompok Basrah, yang tidak tertarik pada jabatan tersebut. Kedua kelompok itu, karena ketekunan beribadah dan menguasai ilmu serta filsafat, berteologi secara rasional, dapat menarik bagi dan berpengaruh kuat atas khalifah‑khalifah Bani Abbas sampai tahun 849 (234 H). Pada tahun ini, karena kesalahan memaksakan pendirian kepada ulama‑ulama di luar golongannya, Mu’tazilah yang telah 22 tahun lamanya menjadi madzhab resmi Daulah Abbasiyah, mendapat pukulan hebat dengan berfihakknya Khalifah Mutawakkil kepada kaum Ahlussunnah wal Jamaah. Akhirnya kaum Mu’tazilah dibenci dan dimusuhi oleh penguasa, mayoritas ulama, dan ummat. Pemuka mereka seperti Al‑Jubba’i, tidak mampu menahan kemunduran aliran teologi mereka. Mu’tazilah memang pernah bangkit lagi di Irak dan Persia, ketika kedua wilayah tersebut dikuasai oleh penguasa bani Buaihi (945‑1045/334‑437), golongan Syiah yang berteologi Mu’tazilah dan melahairkan ulama terkemuka, Qadhi Al‑Qudhat Abdul Jabbar (W 1025). Tapi setelah hancur kekuasaan Bani Buaihi, pada umumnya penguasa‑penguasa di seluruh dunia Islam berfihak kepada kaum Ahlussunnah Wal Jammah. (IAIN Syarif Hidayatullah, 1992: 712)
Dewasa ini, golongan Mu’tazilah ini banyak bertebaran di Syam, Yaman, Irak dan Hindustan. Tetapi juga di negeri‑negeri Islam yang lain, yang dengan sadar atau tidak sadar, faham‑faham Mu’tazilah ini masuk melalui ajaran Islam. (Atjeh, 1966:  48)

1.      Nama Muktazilah
Secara etimologis, kata “Mu’tazilah” berarti golongan yang mengasingkan atau memisahkan diri. Dalam lembaran sejarah Islam, golongan ini pernah terjadi di kala pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada saat itu terdapat beberapa orang sahabat Nabi yang tidak menginginkan terlibat dalam pertikaian tersebut. Mereka tidak ikut membaiat Ali, namun mereka memilih bersikap netral. Beberapa tokoh yang memiliki sikap semacam ini adalah: Sa’d bin Abi Waqqasy, Abdullah bin Umar, dan Utsman bin Zaid. Orang‑orang itu disebut kelompok Mu’tazilah, karena mengasingkan diri dari keterlibatan dalam pertikaian politik yang tengah terjadi antara Ali dan Mu’awiyah. (Al‑Fakhuri, 1957: 141)
Apabila kata Mu’tazilah dikaitkan dalam konteks aliran‑aliran teologi, maka Mu’tazilah adalah suatu nama golongan dalam Islam yang membawa persoalan‑persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan‑persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah yang dalam pembahasannya banyak memakai akal, sehingga golongan ini sering disebut kaum rasionalis Islam. (Nasution, 1986: 38)

Pada mulanya nama ini di berikan oleh kalangan luar Muktazilah, karena tokoh pendiri mazhab ini wasil ibn Atha memisahkan diri dari gurunya, akan tetapi dalam perkembangan secara diam-diam mereka menyetujui nama itu dengan pengertian memisahkan diri atau menjauhi yang salah sebagai tindakan terbaik, bahkan mereka mengemukakan dalil al-Quran untuk mendukung maksud tersebut seperti yang tercantum dala surat al-Muzzammil ayat 10:
Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka secara baik.
Selain nama Muktazilah, maka mazhab ini di kenal pula dengan nama Ashabul ‘Adli Wat Tauhid, al-Qadariyah, al-‘Adil, al-Muattilah dan kaum Rasionalis Islam.
            Di nama kan Ashabul ‘Adli Wat Tauhid, karna mazhab ini lebih banyak menitikberatkan pembahasannya pada segi-segi keadilan dan ke-Esa-an Alllah. Di namakan al-Qadariyah, sebab mereka menganut paham free will, makhluk sendirilah yang menjadikan dan menggerakkan perbuatannya sedangkan al-Muattil adalah nama yang di berikan karena mereka menafikan sifat tuhan, dan di beri nama kaum rasional Islam karena dalam memecahkan permasalahan khususnya masalah teologi bersifat filosofis dan lebih banyak menggunakan akal dan mengenyampingkan tradisional.
Adapun sebutan Mu’tazilah yang lain adalah:
  1. Ahlul ‘Adl Wa at-Tauhid (kaum pendukung keadilan dan keesaan Allah).
  2. Ahlul Haq (golongan yang benar).
  3. Ats‑Tsanawiyah dan Al‑Majusiyah (kaum Dualis dan Majusi). Sebutan ini ditolak oleh Mu’tazilah.
  4. Al‑Khawarij, karena sejalan dengan pendapat Khawarij tentang dosa besar, apabila tidak bertaubat akan kekal di neraka, walaupun mereka mengatakan bahwa orang itu tidak kafir.
  5. Al‑Wa’idiyah, yaitu bahwasanya Mu’tazilah menekankan kebenaran janji dan ancaman. Nama ini berasal dari golongan Murjiah.
  6. Al‑Mu’aththilah, yaitu bahwa kaum Mu’tazilah menolak adanya sifat‑sifat Allah yang azali, juga menolak untuk mengambil pengertian makna lahiriah dari ayat‑ayat Al-Quran dan as-Sunnah jika tidak sesuai dengan pendirian mereka. (Jarullah, 1947: 5‑10)

2.      Sejarah Timbulnya
Sebenarnya istilah Muktazilah sudah di kenal sejak pertengahan abad pertama Hijriah yaitu gelar kepada orang-orang yang memisahkan diri atau bersikap netral kepada peristiwa-peristiwa politik yang timbul setelah wafatnya Utsman ra.
Pertama, pertentangan antara Aisyah, Thalhah dan Zubair di satu pihak dan ali di pihak lainnya (perang jamal). Kedua, pertentangan antara ali dengan Muktazilah (perang Shiffin).
Di antara orang-orang yang memisahkan diri atau netral itu adalah sa’ad ibn Abi Wakas, Abdullah ibn Umar Muhammad ibn Maslamah, Usamah ibn Zaid, Suhaib ibn Sinan dan Zaid ibn Tsabit.
An-Naubati dalam kitab Firaq al-Syi’ah, menjelaskan setelah ali ra. Di angkat sebagai khalifah, sekelompok umat Islam memisahkan diri I’tizal dari ali ra, meskipun mereka menyetujui pengangkatan ali sebagai khalifah. Mereka ini di sebut golongan Muktazilah.
Dari uraian di atas jelas bahwa istilah Muktazilah sudah di kenal pada periode seperempat abad terakhir pada abad pertama Hijriah denagan latar belakang kemelut politik. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah Muktazilah yang di pelopori oleh Wasil ibn Atha yang muncul pada abad kedua Hijriah itu ada hubungan atau merupakan kelanjutan dari Muktazilah yang muncul pada abad pertama Hijriah ataukah kedua kasus itu muncul sendiri-sendiri, tidak ada kaitan satu sama lainnnya, sekalipun mempunyai nama yang sama.
Kalau kita memperhatikan keadaan masyarakat dan konstelasi politik pada saat lahirnya kedua Muktazilah itu, maka tampaknya kedua Muktazilah yang muncul pada abad pertama dan kedua Hijriah itu tidak ada hubungannya. Yang pertama lahir karena akibat adanya kemelut politik, sedangkan yang kedua lahir di dorong dengan akidah, oleh sebab itu yang kedua di golongkan kedalam aliran atau mazhab dalam teologi islam meskipun kemudian harinya mereka turuk serta mempermasalahkan politik sebagai umat yang kritis terhadap perkembangan zaman.
Menurut Asy Syahratsani dalam bukunya milal wan nihal di ceritakan bahwa pada suatu hari seorang laki-laki datang menemui Hasan Basri (21-110H/642-728M) seraya berkata: “Pada zaman kita ini telah muncul suatu golongan yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa besar.” Menurut mereka dosa besar itu merusak iman atau sama dengan kekafiran mereka itu adalah golongan Khawarij. Di samping itu timbul pula suatu golongan yang menangguhkan hukum atas orang yang berbuat dosa besar dan menurut mereka berbusat dosa besar itu tidak merusak iman. Mereka itu adalah golongan Murji’ah.
“Bagaimanakah anda (Hasan Basri) menetapkan itikad bagi kami tentang hal ini ?”. ketikah Hasan Basri merenungkan masalah tersebut, Wasil ibn Atha berkata:”Aku tidak mengatakan orang yang berbuat dosa besar itu adalah mukmin secara mutlak dan tidak pula kafir secara mutlak, tapi statusnya di antara mukmin dan kafir (al-Manzilu baina al-Manzilataini), mereka tidak mukmin dan tidak pula kafir”. Setelah memberi jawaban itu Wasil ibn Atha bangkit berdiri dan berjalan ke suatu sudut masjid sambil menjelaskan alasan-alasan pendapatnya kepada kawan-kawannya.
Melihat tingkah laku yang demikian, maka Hasan Basri berkata : “I’tazala ‘ anna washil (Wasil telah memisahkan diri dari kita)”, maka sejak itulah Wasil ibn Atha dan para pengikutnya di namakan Muktazilah.
Kebanyakan ulama‑ulama yang masuk dalam barisan Mu’tazilah, setelah berkembangnya. Filsafat Yunani di Bagdad (Irak) pada bagian kedua abad ke‑8 (2 H) adalah ulama‑ulama yang memberikan perhatian besar pada ilmu dan filsafat itu. Mereka menjadi golongan ulama intelek, yang disamping berteologi (menjelaskan, memperkuat dan membela akidah‑akidah yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi) dengan pemikiran rasional, juga sebagiannya ikut memberi saham yang besar bagi perkembangan ilmu dan filsafat di zaman klasik Islam. Mereka sering tampil dalam gelanggang perdebatan teologis dengan para teolog non-muslim, mereka memakai senjata logika dan filsafat, sebagaimana yang digunakan pihak lawan. Bila penulis modern menyebutnya kaum rasionalis Islam, maka itu tidak berarti bahwa mereka hanya berpegang pada akal, atau lebih meninggikan akal dari wahyu, mereka sebenarnya berpegang pada keterangan akal dalam rangka menjelaskan atau membela keterangan wahyu. Terlebih dari itu, bila mereka disebut pada teologi liberal dalam Islam, maka itu tidak berarti bahwa mereka tidak terikat pada al-Quran dan as-Sunnah, mereka liberal dalam arti tidak terikat pada pemahaman‑pemahaman yang bersifat sederhana, dangkal atau harfiyah, yang muncul di kalangan sebagian ulama di luar golongan mereka.
Setelah Washil bin ‘Atha’ (pendiri Mu’tazilah) dan pendampingnya, Amru bin Ubaid wafat, ulama‑ulama Mu’tazilah terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok Bagdadyang mau menerima jabatan pemerintahan, dan kelompok Basrah, yang tidak tertarik pada jabatan tersebut. Kedua kelompok itu, karena ketekunan beribadah dan menguasai ilmu serta filsafat, berteologi secara rasional, dapat menarik bagi dan berpengaruh kuat atas khalifah‑khalifah Bani Abbas sampai tahun 849 (234 H). Pada tahun ini, karena kesalahan memaksakan pendirian kepada ulama‑ulama di luar golongannya, Mu’tazilah yang telah 22 tahun lamanya menjadi madzhab resmi Daulah Abbasiyah, mendapat pukulan hebat dengan berfihakknya Khalifah Mutawakkil kepada kaum Ahlussunnah wal Jamaah. Akhirnya kaum Mu’tazilah dibenci dan dimusuhi oleh penguasa, mayoritas ulama, dan ummat. Pemuka mereka seperti Al‑Jubba’i, tidak mampu menahan kemunduran aliran teologi mereka. Mu’tazilah memang pernah bangkit lagi di Irak dan Persia, ketika kedua wilayah tersebut dikuasai oleh penguasa bani Buaihi (945‑1045/334‑437), golongan Syiah yang berteologi Mu’tazilah dan melahairkan ulama terkemuka, Qadhi Al‑Qudhat Abdul Jabbar (W 1025). Tapi setelah hancur kekuasaan Bani Buaihi, pada umumnya penguasa‑penguasa di seluruh dunia Islam berfihak kepada kaum Ahlussunnah Wal Jammah. (IAIN Syarif Hidayatullah, 1992: 712)
Dewasa ini, golongan Mu’tazilah ini banyak bertebaran di Syam, Yaman, Irak dan Hindustan. Tetapi juga di negeri‑negeri Islam yang lain, yang dengan sadar atau tidak sadar, faham‑faham Mu’tazilah ini masuk melalui ajaran Islam. (Atjeh, 1966:  48)

Para ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama Mu’tazilah menjadi beberapa pendapat:
Pertama, penamaan Mu’tazilah hasil dari diskursus tentang masalah aqidah keagamaan, seperti menghukumi pelaku dosa besar, tentang masalah qodar dalam artian, apakah seorang hamba berkuasa atas perbuatannya atau tida. Dan pengusung pemikiran ini menamai Mu’tazilah dengan beberapa sebab :
1.      Bahwasanya mereka meninggalkan kaum muslimin dengan perkataan manzilah baina manzilataini (satu diantara dua tempat).
2.      Mereka menamai Mu’tazilah setelah hengkangnya washil bin atho’ dari halakoh Hasan Al Basri dan membentuk halakoh khusus. Tentang hal ini, Hasan Al Basri berkata “washil telah meninggalkan kita” bahwasanya mereka berkata wajib meninggalkan pelaku dosa besar dan memboikotnya.
Kedua, penamaan Mu’tazilah lahir dari pergulatan politik di mana kelompok orang-orang dari Syi’ah Ali meninggalkan Hasan ketika Mu’awiyyah melepaskan jabatan (sebagai raja) Adapun sejarawan Mu’tazilah (Qadhi Abdu al-Jabar al-hamdani) berpendapat bahwa Mu’tazilah bukan madzab baru atau firqah baru, akan tetapi dia adalah pelanjut risalah Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya. Penamaan tersebut, disebabkan mereka “menjauhi kejahatan”. Seperti dalam firman Allah SWT:
واعتزلكم وما تدعون

Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari takdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah pemikiran Mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassaroh fi’ladyan wa’lmadzahib wa’lahzab al-mu’ashirah” bahwa pada awal sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:
1.        Pemukiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
2.        Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan –mu’min dan kafir- (manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Sejalan dengan keberagamaan akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh sekte Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Dalam bukunya,”al-farqu baina ‘lfiraq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte Mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh sub sekte tersebut masih ada lagi dua sub sekte Mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah: al-khabithiyah dan al-himariyyah. Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dari duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah:
ü  Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. Dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
ü  Pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “diri”-Nya.
ü  Pemikiran tentang ke-baru-an (hadits) kalamullah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamullah adalah makhluk-Nya.
ü  Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta prilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas perbuatanya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah disebut qodariyah oleh sebagaian kaum muslimin.
ü  Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah di antara dua manzilah -mu’min dan kafir- (manzilatun baina manzilataini). Inilah alasan mereka disebut Mu’tazilah.
ü  Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak di perintatahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.
Inilah sebagian produk pokok pemikiran Mu’tazilah yang cukup mewakili identitas Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran. Seluruh pemikiran Mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sekte yang paling menguasai ilmu kalam.
Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam ‘Abdullah ibn Mubarak. Menurut ibn Taymiyyah, sarjana itu mengatakan demikian:
“Agama adalah kepunyaan ahli hadist, kebohongan kepunyaan kaum Rafidla, (ilmu) kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional)”
Selanjutnya, dari enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh sub sekte Mu’tazilah di atas mereka merangkum kembali menjadi lima dasar (ushul) pemikiran yang menjadi trade mark mereka.
Kelima dasar pemikiran tersebut adalah: al-tauhid, al-a’dl (keadilan Allah), al-wa’d wa’lwa’id (janji dan ancaman Allah), al-manzilatu baina ‘lmanzilataini, al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’munkar.

a.       At-Tauhid (ke-Esa-an Tuhan).
Ajaran pertama aliran ini berarti menyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah Yang Maha Esa. Konsep tauhid menurut mereka adalah paling murni sehingga mereka senang disebut pembela tauhid (ahl al-Tauhid). Tauhid adalah dasar utama dan pertama dalam akidah Islam, jadi prinsip Tauhid ini bukan hanya kepunyaan orang Muktazilah saja, tapi prinsip seluruh umat Islam, akan tetapi orang Muktazilah mempermasalahkannya lebih mendalam, sehingga prinsip yang menimbulkan beberapa kelanjutan lainnya, antara lain:
1.        Menafikan sifat Allah, mereka tidak mengakui adanya sifat Tuhan. Tidak ada yang qadim selain zat Allah. Apa yang dianggap atau disebut sifat Allh tidak bisa dipisahkan dari zat Tuhan itu sendiri.
2.        Quran adalah makhluk, yang qadim hanya zat Allah, sedangkan kalamullah itu tidak ada pada zat Allah, tetapi berada diluarnya, karena itu dia tidak qadim.
3.        Mengingkari bahwa Tuhan itu tidak dapat dilihat dengan mata kepala, yang dapat dilihat dengan mata kepala itu berarti bukan Tuhan.
4.        Menta’wilkan ayat-ayat yang terkesan adanya persamaan antara Tuhan dengan manusia.

b.       Al-Adlu (keadilan)
Menurut aliran Muktazillah, paham keadilan Tuhan mempunyai pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat zalim kepada hamba-Nya. Mereka berpendapat bahwa Tuhan wajib berbuat yang terbaik bagi manusia. Misalnya, tidak memberi beban terlalu berat, mengirimkan nabi dan rasul, serta memberi daya manusia agar dapat mewujudkan keinginan nya. Dalam hal keadilan mereka lebih banyak menitikberatkan pada pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, karena itu mereka menafsirkan keadilan sebagai berikut:
Tuhan tidak menghendaki keburukan, tapi manusia sendirilah yang menghendaki keburukan itu. Allah memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya dan melarang apa yang diperintahkan-Nya untuk tidak dikerjakan. Manusia dengan qudrat (kekuasaan) yang dijadikan Allah pada dirinya, dapat mengerjakan yang baik, maka bila ia mengerjakan yang buruk berarti ia sendirilah yang menghendakinya.
Dari prinsip ini timbullah ajaran al-Ashlah wal Ashlah maksudnya Allah menghendaki yang baik, bahkan yang terbaik dari segala yang baik untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.

c.        Al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman)
Menurut Muktazillah, Tuhan wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga. Begitu juga, menepati ancaman-Nya mencampakkan orang kafir serta orang yang berdosa besar ke dalam neraka. Janji Allah yang akan memberi pahala atau siksa di akhirat kelak pasti akan dilaksanakan, karena itu bagi Muktazilah tidak mengenal adanya syafaat pada hari kiamat nanti, syafaat atau pengampunan bertentangan dengan janji Tuhan. Jadi prinsip ini merupakan kelanjutan dari keadlian.


d.       Al-Manzilu baina Manzilataini
Paham ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan Muktazillah. Paham ini yang menyatakan posisi orang Islam yang berbuat dosa besar. Orang Islam jika melakukan dosa besar, ia tidak lagi sebagai orang mukmin, tetapi ia juga tidak kafir. Kedudukannya sebagai orang fasik. Jika meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkan neraka selama-lamanya. Akan tetapi, siksanya lebih ringan daripada orang kafir.
Prinsip ini amat penting, sebab prinsip inilah yang menjadi alasan Wasil memisahkan diri dari gurunya Hasan Basri. Dengan prinsip ini kuat dugaan wasil ingin mengambil jalan tengah pertentangan antara golongan Khawarij dan Murji’ah.
Menurut Muktazilah maksiat itu ada dua macam, yaitu yang merusak dasar agama seperti syirik dan orang yang berbuat maksiat seperti ini digolongkan kafir dan kedua yang tidak sampai merusak dasar-dasar agama, orang yang melakukannya tidak berhak disebut mukmin, tapi tidak pula dikategorikan kafir, karena ia mengucap syahadatain, ia disebut fasik, antara kafir dan mukmin.

e.        Amar ma’ruf dan nahi Munkar (Perintah Mengerjakan Kebajikan dan Melarang Kemungkaran)
Dalam prinsip Muktazillah, setiap muslim wajib menegakkan yang makruf dan menjauhi yang mungkar. Bahkan, dalam sejarah, mereka pernah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Orang yang menentang akan dihukum.
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan soal amaliah atau fikih, namun golongan ini sangat gigih melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan dalam sejarah Muktazillah pernah menggunakan kekerasan dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar, sekalipun terhadap umat Islam sendiri, antara lain peristiwa al-Minhah.
Jika Mu’tazilah, dengan teologi rasionalitasnya, dikategorikan sekte “pemuja” akal, apakah dengan itu berarti mereka adalah golongan berakal?
Jika kita masih memegang teguh Al Qur’an, maka Al Qur’an telah menyiapkan jawabannya, Firman Allah dalam Qs. Ali Imran: 7 sebagai berikut:”Dia-lah yang menutunkan Al Kitab (al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada, itulah pokok-pokok isi al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripada untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:”kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Ayat dia atas menegaskan bahwa terdapat dua jenis isi kandungan al Qur’an: Pertama, ayat-ayat yang muhkamat, Kedua, ayat-ayat yang mutasyabihat. Kemudian menjelaskan bahwa di antara manusia ada yang selalu condong pada kesesatan yaitu mereka yang selalu mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dan mencari-cari ta’wilnya.
Lalu kalau kita melihat produk pemikiran Mu’tazilah yang telah di paparkan di atas, maka kita dengan mudah akan mengetahui bahwa apa yang banyak mereka bahas adalah ayat-ayat mutasyabihat. Ambil saja cotohnya tentang sifat-sifat Allah yang Allah sendiri (dalam Al Qur’an) tidak menerangkannya secara detil (tafsil). Lalu, dengan kecondongan kepada kesesatan, mereka mencari-cari ta’wil yang seluruhnya disandarkan pada akal rasional. Akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan ayng sesat (sesuai kecondongan mereka) dengan mengaatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat azali kalam, Bashar, dan lain sebagainya. Lebih sesat lagi mereka mengatakan dan meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh mata manusia bahkan Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya! sungguh kesesatan yang nyata.
Selanjutnya, karena kepuasanya manggunakan akal, mereka pun munggunakannya dalam segala permasalahan hingga akhirnya menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran, menyingkirkan al Qur’an yang sebelumnya telah dilemahkan kedudukannya dengan mengatakan bahwa al Qur’an adalah makhluk Allah yang berperspektif telah dan memiliki kekuatan; dan melupakan sunnah (juga) sebagai sumber hukum. Dari realita tersebut, pantaslah jika Mu’tazilah kita golongan ke dalam kelompok yang hatinya condong pada kesesatan seperti disitir dalam Ali Imran ayat tujuh di atas.
Sementara sebagai negasi dari kelompok yang hatinya condong pada kesesatan, Allah menyebutkan orang-orang yang ilmunya mendalam (al rasikhuna fi’l’ilmi) dan menjelaskan pendirian mereka dihadapan ayat-ayat mutasyabihat, mereka berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Mereka itulah para Ulul Albab (orang yang berakal), satu-satunya golongan yang bisa mengambil pelajaran.
Jika al Qur’an mengatakan bahwa orang yang berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi kami.” Adalah orang yang mendalam ilmunya dan dinamainya dengan ulul albab (orang yang berakal), lalu dinmakan Mu’tazilah berada jika bukan di golongan (yang cenderung pada) kesesatan?
Secara logika sehat (rasional) sendiri, ideologi Mu’tazilah sudah terpatahkan. Coba kita bukan cakrawala kita dengan bebas menembus seluruh alam semesta, bayangkan ribuan bintang, planet, meteorid dan berbagai benda angkasa yang ada di semesta; lalu kembali lagi ke bumi yang usianya sudah bermilyar-milyaran tahun, bayangkan gunung dengan segala karakteristik dan isinyaa, bayangkan hutan dengan bintang-bintang yang mengisinya dengan berbagai macam jenis dan bentuknya, kemudian saksikan laut yang lebih luas dari daratan yang sangat menyimpan rahasia yang tidak banyak diketahui, Adakah, dalam sejarah, seseorang dengan kekuatan akalnya mampu mengetahui seluruh benda makhluk Allah itu?
Jika makhluk-makhluk-Nya saja tidak mampu difikirkan, apa jaminannya akal akan mampu memikirkan Allah, Sang pencipta! Sungguh kesombongan yang nyata mengisi rongga hati manusia yang ngotot ingin memikirkan dan merasionalisasikan Allah. Mereka adalah manusia yang men-tuhan-kan hawa nafsu, nafsu intelektual mereka. Tentang hal ini Allah berfirman:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mngunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Qs. Al Jasiyah,45;23)

a)      Wasil ibn Atha
Wasil ibn Atha lahir sekitar tahun 70 H di Madinah, kemudian beliau pindah ke Basrah dan berguru pada seorang ulama besar bernama Hasan Basri. Beliau termasuk salah seorang murid yang cerdas dan tekun dengan pelajarannya.
Pokok-pokok pikiran tentang teologi dapat disimpulkan dalam tiga hal penting, yaitu tentang dosa besar, kekuasaan berbuat atau free will dan tentang sifat Allah.
Orang yang berbuat dosa besar kemudian meninggal dunia tanpa tobat, maka orang itu disebut fasiq, karena pada dirinya belum terkumpul perbuatan-perbuatan baik, sehingga ia belum berhak disebut mukmin, akan tetapi karena ia mengucapkan syahadat, maka tidak pula tergolong orang yang kafir.
Tentang manusia apakah bebas berbuat atau tidak, Wasil berpendirian manusia bebas berbuat karena kuasa dan keinginan yang diberikan Tuhan kepadanya. Manusia bebas menggunakannya, apakah untuk kebaikan atau keburukan, dengan demikian adillah Tuhan menghukum orang yang berbuat baik di akhirat kelak.
Di akhirat kelak Tuhan akan meminta pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya selama ia di dunia, hal ini tidak mungkin Tuhan memaksakan kehendaknya, kemudian meminta pertanggungjawaban dari manusia yang dipaksa.
Tentang sifat bila Allah diberi sifat, maka sifat itu harus qadim, hal ini berarti yang qadim itu tidak hanya Allah.dari dasar pemikiran ini Wasil berkesimpulan bahwa Allah tidak bisa disifati dengan sifat sebagaimana sifat manusia, sedangkan sifat Allah yang tersebut dalam al-Quran itu pada hakikatnya adalah zat Allah itu sendiri.
Karya-karya Wasil bin Atha’
Wasil bin ‘Atha’ telah mengarang buku‑buku antara lain:
1.      Kitab Ashnaf al-Murji’ah
2.      Kitab At-Taubah
3.      Kitab Al Manzilah Bain al-Manzilatain
4.      Kitab Khutbatuhu allati Akhraja Minha ar‑Ra’y
5.      Kitab Ma’ani al-Quran
6.      Kitab Al‑Khithab Fi at-Tauhid Wa al-’Adl
7.      Kitab Ma Jara Bainahu Wa Baina Amr Bin Ubaid
8.      Kitab As-Sabil Fi Ma’rifati al-Haq
9.      Kitab Fi ad-Da’wah
10.  Kitab Thabaqat Ahli al-Ilmi Wa Ghairi Dzalik. (Badawi, 1971: 82)
Peran wasil bin Atha’ dalam Aliran Mu’tazilah
Washil adalah tokoh pemula aliran Mu’tazilah. Dia adalah orang pertama yang mendapat julukan Mu’tazilah, dia pula yang mendirikan dan mempertahankan ajaran‑ajarannya. (Al-Ghurabi, t.t.: 74) Washil juga telah mewariskan kepada umat Islam berupa falsafat yang berharga untuk memahami aqidah Islamiah melalui metode pembahasan yang rasional.
Wasil bin ‘Atha’, dalam bidang da’wah sangat berjasa. Dia telah mengutus para da’i ke berbagai penjuru dunia untuk menyebarluaskan ajaran Islam dan teristimewa aliran Mu’tazilah, seperti Abdullah bin Al‑Haris ke Maroko, Hafsh bin Salim ke Khurasan, Ayyub ke Al-Jazirah dan Usman Ath‑Thawil ke Armenia. Washil juga dianggap sebagai orang pertama yang meletakkan prinsip‑prinsip da’i dalam pemerintahan Islam dan mengutus utusan‑utusan dalam rangka da’wah Islamiah serta mempertahankan pendapatnya yang dia pegang teguh. (Al-Ghurabi, t.t.: 103)
Pemikiran Teologis wasil bin Atha’
Sebenarnya, ajaran‑ajaran Washil muncul sebagai reaksi yang ada pada waktu itu; yakni kontroversi yang cukup mencolok antara Khawarij dan Murjiah, orang‑orang Yahudi dan Nasrani berbondong‑bondong untuk masuk Islam, sehingga masalah‑masalah aqidah yang digandrungi sebelumnya, dibawa kedalam agama yang baru mereka peluk. Berbarengan dengan itu pula, filsafat Yunani telah merajalela, sehingga dia merasa tergugah untuk mengambil sikap dalam rangka menyelamatkan agamanya dari kesalahan‑kesalahan yang fatal dan bisa menganak non-muslim untuk memeluk agama Islam. Sikap‑sikapnya, pada pokoknya adalah pendapat‑pendapat berikut ini:
A.      Al‑Manzilah Bainal Manzilatain (Posisi di antara Dua Posisi)
Ajaran ini memberi makna adanya sikap jalan tengah antara dua golongan yang tenah bersengketa, khawarij dan Murjiah. Tentang masalah iman dan kafir, Khawarij berpendirian bahwa implementasi perintah agama, seperti shalat, puasa, sadaqah dan berbuta adil merupakan salah satu unsur keimanan. Iman bukan hanya merupakan kepercayaan saja, sehingga menurutnya, barang siapa percaya bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusanNya, namun dia tidak melaksanakan kewajiban‑kewajiban agama dan melakukan dosa besar, baginya dianggap kafir. Bahkan salah satu dari sektenya Al‑Azariqah, sebagai pengukut dari Nafi’ ibn al‑Azraq, memiliki suatu persepsi bahwa orang yang melakukan dosa besar dianggap telah keluar dari agama Islam dan akan abadi di neraka bersama‑sama dengan orang‑orang kafir lainnya. (Asy‑Syahraststani, 1956: 291)
Murjiah bersiteguh dengan pendiriannya bahwa iman itu merupakan kepercayaan hati. Shalat, puasa dan serentetan ajaran yang senilai dengan itu bukan merupakan unsur iman. Dosa besar yang diperbuat oleh umat Islam tidak menyebabkan dia kafir, tetapi masih tetap dalam batasan orang mukmin. Aliran ini telah memperluas cakupan makna mukmin, sedangkan golongan Khawarij adalah sebaliknya. Orang Mukmin, dalam perspektif  Khawarij, adalah mereka yang termasuk dalam golongannya sendiri, malahan al‑Azariqah, memberi batasan yang relatif sempit, kalau tidak boleh dikata‑kan terlalu sempit, dengan mengibarkan pandangannya bahwa orang mukmin adalah orang‑orang yang bergabung dalam sektenya, adapun selainnya dipandangnya kafir. Pandangan ini sangat berefek lebih jauh terutama dalam bidang politik. (Ahmad Amin, 1964:  292)
Mu’tazilah, Washil dengan para pengikutnya, hadir untuk memberikan sintesa bahwa orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagaimana pendapat khawarij, dan bukan pula mukmin sebagaimana pola pandang Murjiah, tetapi fasiq, yang menduduki posisi di antara posisi mukmin dan kafir. Kata mukmin menurut Washil merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada fasiq, karena dosa besarnya. Dan predikat kafirpun tidak bisa diberikan kepadanya, karena sebaliknya dosa besar dia masih mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerjakan perbuatan‑perbuatan baik. (Ahmad Amin, 1964: 230) Orang yang berdosa besar tersebut, bila mati tanpa taubat terlebih dahulu maka dia akan masuk neraka selamanya, karena di akherat itu hanya terdapat dua golongan, golongan syurga dan neraka, namun siksanya akan diperingan, terletak di atas tingkatan orang‑orang kafir. Pendapat ini menyebabkan Washil keluar dari pengajian Hasan Al‑Basri dan pada gilirannya dia beserta para pengikutnya dinamai Mutazilah. Konsepsi ini sangat berdampak pada para pengikut Mu’tazilah sehingga ajaran ini diangkat menjadi salah satu dari al‑ushul al‑khamsah.
B.       Peniadaan sifat‑sifat Allah
Washil berpendapat, bahwa Allah tidak memiliki sifat‑sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar esensinya dan menurutnya bahwa sifat‑sifat yang jumlah‑nyaa 99 nama tersebut merupakan satu kesatuan yang bernilai Ilahiyah. (Farah, 1986: 203) Semestinya sifat‑sifat itu qadim, karena tidak mungkin mensifatiNya dengan sifat hadits (baru), dan jika sifat‑sifat Allah itu qadim, maka memberikan makna bahwa yangqadim itu banyak, sudah barang tentu pendapat ini salah karena mengandung arti syirik atau menyekutukan Tuhan. (Al-Ghurabi, t.t.: 95)
Ajaran ini merupakan reaksi atau tanggapan terhadap pendapat‑pendapat yang pada waktu itu sedang berkembang, antara lain:
1.         Pendapat Muqatil bin Sulaiman, wafat tahun 150 H, bahwa Allah mempunyai sifat‑sifat jasmani dan sifat‑sifat yang terdapat pada mahluk.
2.         Pendapat Ats‑Tsanawiyah, bahwa cahaya dan gelap itu izaali dan qadim.
Kalau kita teliti, paham penafian sifat Allah ini tampaknya bukan pendapat asli Wasil bin ‘Atha’ karena sebelum dia, Jahm bin Shafwan (wafat 128 H) telah berpendapat dapat serupa, hanya saja Jahm telah mengecualikan sifat berkuasa, berbuat, dan mencipta. Hanya Allah saja yang mempunyai sifat‑sifat tersebut. Manusia dalam perbuatan‑perbuatannya adalah dipaksa. Perbuatannya bukan dalam arti yang sebenarnya, melain‑kan dalam arti kiasan, tak ubahnya sebagaimana statemen: tanaman menghijau, hujan turun dari langit, siang hari terang benderang dan sebagainya. (Al-Ghurabi, t.t.: 95) Menurut Asy‑Syahrahtani, bahwa pikiran Wasil bin ‘Atha’ tentang peniadaan sifat‑sifat ini, dianggap belum matang, tetapi kemudian disempurnakan oleh pengikut‑pengikutnya setelah mereka mempelajari filsafat Yunani.Abu Hudzail berpendapat, bahwa sifat esensi bagi Allah seperti mengetahui, berkuasa, hidup, dan sebagainya, adalah zat Allah itu sendiri, bukan merupakan wujud tersendiri yang terpisah dari esensinya. Pengetahuan Allah adalah Allah itu sendiri. Kekuasaan Allah adalah esensi Allah sendiri, demikian pula sifat‑sifat esensi lainnya. (Al-Ghurabi, t.t.: 159)
C.     Al‑Qadar
Menurut Wasil bin ‘Atha’ Tuhan adalah bersifat bijaksana dan adil. Sebaliknya ia tidak memiliki sifat jahat dan dholim. Mustahil bagi‑Nya menghendaki supaya manusia berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perintah‑nya. Karenanya, menurut Wasil bin ‘Atha’ bahwa pada hakekatnya manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan baik atau buruk, iman atau kufur, taat atau ingkar terhadap perintah Allah. Dengan alasan ini, maka manusia berhak mendapat balasan. Menurut Asy‑Syahrastani, pemikiran Wasil bin ‘Atha’ tentang Al‑Qadar ini, telah mengikuti jejak jalan fikiran yang ditempuh oleh Ma’bad Al‑Juhaini dan Ghailan Al‑Dimasyqi. Ajaran Al‑Qadar ini memberikan kebebasan akal dan perbuatan manusia untuk berikir dan berbuat, akan tetapi ada konsekuensi logisnya, yaitu bahwa manusia akan dimintai pertanggung jawabannya. (Asy‑Syahrastani, 1956: 51)
Sikap Para Ulama terhadap Wasil bin Atha’
Al‑Asy’ari adalah salah seorang ulama yang sangat gencar menyerang ajaran Wasil bin ‘Atha’. Dia menuduh Wasil bin ‘Atha’ sebagai orang Majusi. Dia berbeda pendapat dengan Wasil, mengenai ajaran peniadaan sifat. Menurutnya, Allah itu mempunyai sifat‑sifat, namun berbeda dengan sifat‑sifat yang dimiliki oleh mahluk. Dia menolak ajaran Al‑Qadar, bahwa manusia tidak mampu berbuat hal‑hal yang baru, namun demikian, mereka dapat melakukan kasab. (Abu Zahrah, t.t.: 166)
Sebagian ulama yang lain memasukkan Wasil bin ‘Atha’ sebagai kelompok Khawarij, bahkan ada lagi yang memasukkannya dalam kelompok Jahmiyah. (Al Ghurabi, t.t: 79)

b)      Abul Huzail Al Allaf
Beliau lahir pada tahun 135H/751M dan wafat pada tahun 235H/849M, Abdul Huzail merupakan gererasi kedua penganut Muktazilah dan beliaulah orang pertama yang mengintrodusir dan menyusun dasar-dasar paham Muktazilah. Beliau berguru pada Utsman At Thawil, murid Wasil ibn Atha.
Berlainan dengan Wasil ibn Atha, beliau lahir dalam situasi memuncaknya ilmu pengetahuaan, telah banyak buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

c)       An Nazzam
Nama lengkapnya Ibrahim ibn Sayyar, tapi beliau lebih di kenal dengan An Nazzam. Beliau adalah seorang murid dari Abul Huzail. Pada waktu kecilnya banyak bergaul dengan oaring yang bukan Islam dan pada usia dewasa bergaul dengan ahli filsafat dan sekaligus menekuninya.

d)      Al Jubba’i
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad ibn Abdil Wahab lahir tahun 235H/849M Juba’, wafat tahun 303H/915M di Basrah.
Situasi politik pada masanya sedang mulai menurun menuju kemunduran, gerakan-gerakan sparatis bermunculan di banyak daerah yang selanjutnya timbul kekuasaan-kekuasaan kecil di beberapa daerah, namun masalah ilmu pengetahuan tetap berkembang dengan pesat. Beliau berguru dengan Asy Syahham, salah seorang murid dari Al Alaff.

Masih banyak lagi tokoh-tokoh Muktazilah, akan tetapi kalau dipelajari secara mendalam walawpun disana-sini terdapat perbedaan pendapat, namun perbedaan itu saling lengkap-melengkapi. Mereka mempunyai pola berfikir yang sama yaitu menitikberatkan pada penggunaan akal dalam memecahkan masalah teologi. Tolak ukur yang dipergunakan oleh orang muktazilah adalah tolak ukur kemanusiaan (rasional) seperti keadilan tuhan dan lain-lain.
Kemunduran muktazilah banyak disebabkan oleh penganut sendiri, pernyataan khalifah makmum bahwa mazhab muktazilah sebagai mazhab Negara memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh muktazilah memaksakan pahamnya, diikuti dengan peristiwa al-minah dan lain-lainnya, menyebabkan banyak tokoh-tokoh/ulama yang masuk penjara, di hukum karena tidak sepaham dengan mazhab muktazilah.
Kemundran muktazilah kelihatan dengan nyata pada zaman khalifah al-mutawakkil, banyak kitab-kitab yang berisi ajaran muktazilah di bakar, namun demikian masih terdapat pribadi-pribadi yang setia menyebakan paham muktazilah. Pada abad ketiga hijriah (akhir) al-Khayyat yang di anggap sumber asli untuk mengetahui ajaran muktazilah.
Zamakhsyari (467-538H), ulama muktazilah angkatan baru yang menafsirkan al-Quran dengan nama Al-Kasysyaf. Kitab tafsir ini amat dikenal dalam dunia islam.
Seorang yang di didik atas paham muktazilah selama kurang lebih 40 tahun berada dalam lingkungan muktazilah berusaha menengahi kemelutan umat islam, terutama paham rasionalis dan tektualis akhirnya dapat mendapat tempat di hati umat islam. Orang itu terkenal sebagai pendiri Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan orang itu tidak lain adalah Abu Hasan Ali al-Asy’ari.



Referensi
Abu Zahrah, M. Al‑Madzahib al‑Islamiyyah. Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi, tt.
Al‑Fakhuri, Hanna, dkk. 1957. Tarikh al-Falsafah al‑Arabiyyah. Beirut: tnp.
Al‑Ghurabi, Ali Musthafa. Tarikh al-Firaq al‑Islamiyyah, Nasy’atu ‘Ilmi a- Kalam ‘Inda al-Muslimin. Mesir: Muhammad Ali Shabih Wa Auladuh, tt.
Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam. 1964. Kairo: An‑Nahdhah al‑Mishriyyah.
Asmuni, Drs. Yusran. 1996. Dirasah Islamiyah II Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam & Pemikiran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Asy‑Syahrastani. Kitab al-Milal Wa an-Nihal. 1956. Kairo: Al‑Angelo Al‑Mishriyyah.
Atjeh, Abubakar1966. Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam). Jakarta: Tintamas.
Badawi, Abdurrahman. 1971. Madzahibu al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-‘Ilmi Li al-Malayin.
Farrah, E. Caesar. Islam. 1986. Canada: Barrons Educational Series, INC.
IAIN Syarif Hidayatullah. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Jarullah, Zuhdi Hassan1947.  Al‑Mu’tazzilah. Kairo: tnp.
Nasution, Harun1986. Teologi Islam, Aliran‑aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan.Jakarta: Universitas Indonesia.
Rahman, Roli Abdul dan M.Khamzah. 2009. Menjaga Akidah dan Akhlak Jilid 2 Untuk Kelas XI Madrasah Aliyah. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Sumber Internet:
http: //masbied.com/
Copyright © 2012 Riwayat Belajar.